Translate

Telusuri via Blog Ini

Minggu, 09 Mei 2010

Kasus STROKE dengan perdarahan otak





Pendahuluan:
Pemeriksaan CT scan Otak (Brain) untuk mengetahui kelainan (lesi) pada daerah otak yang terkena  akibat  penyumbatan aliran darah atau perdarahan karena pecah pembuluh darah atau karena adanya tumor, infeksi  otak, trauma kepala.

Pemeriksaan pada pasien stroke bisa dilakukan dengan CT scan  menggunakan injeksi/suntikan media kontras atau dan tanpa kontras; dapat melihat jaringan parenkim otak atau  dan jaringan tulang pembungkus otak ( os calvaria)

Pada kasus stroke dapat dikenal dari keadaan klinis, apakah stroke  karena perdarahan atau iskemik (sumbatan pembuluh darah) ?  Riwayat  penyakit  kardiovaskular pasien  dan komplikasinya menjadi dasar kemungkinan  timbulnya jenis stroke berdasarkan sebabnya atau etiologi.

Foto Kasus: 
Kasus pasien wanita  usia 60 tahun dengan klinis kelumpuhan badan pada sisi kanan (hemiparese kanan), Riwayat penyakit terdahulu hipertensi dilakukan pemeriksaan CT scan otak tanpa pemberian bahan/media kontras ke kepala melalui injeksi intra-vena; hasil gambar dibuat dengan irisan (slice) foto aksial dengan ketebalan  10 mm per slice.
.
Hasil  Analisa Foto: 
Tampak daerah lekuk lekuk tepi otak (sulci dan fisura)/ruang subarachnoid kiri menyempit- bagian kanan  tidak menyempit (normal)
Tampak bayangan putih-darah (hiperdens) pada daerah belahan otak kiri/hemisfir serebri  kiri dan ventrikel 3, lateral kanan; yang mengakibatkan ventrikel lateral kiri menyempit dan pergeseran struktur tengah otak sedikit  terdesak ke kanan (herniasi otak);  dan tampak edema  otak (kiri) disekitar  daerah perdarahan.

Kesan:  
Perdarahan  intraserebri kiri dan intraventrikel 3, lateral kanan dengan edema otak kiri dan herniasi ringan otak  ke kanan

Klik lihat   album radiologi

Minggu, 02 Mei 2010

Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi

Menggugat Penjajahan Sumberdaya Air dengan Modus Privatisasi

Selain pada privatisasi PDAM yang melibatkan asing, kerugian juga terjadi pada produksi air minum dalam kemasan (AMDK). Dari sejumlah 246 perusahaan AMDK yang beroperasi di Indonesia dengan total produksi sebesar 4,2 miliar liter pada tahun 2001, 65% dipasok oleh 2 badan hukum perusahaan asing, yakni Aqua (Danone) dan Ades (Coca Cola Company).

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/lapsus/pdam.jpg

Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lahirnya undang-undang ini pada 19 Februari 2004 diikuti dengan terbitnya sejumlah peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan privatisasi air.

Latar Belakang

Air merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia dan alam semesta. Air adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang merupakan sumberdaya alam milik publik yang dapat dipergunakan seluruh umat manusia dengan bebas. Namun, saat ini air mulai langka di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1998, 28 negara di dunia telah mengalami kelangkaan air, bahkan angka ini diperkirakan akan naik menjadi 56 negara pada tahun 2025. Di Indonesia, krisis air bersih mulai dirasakan oleh penduduk ibu kota dan di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Kenyataan ini sangat ironis, karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir di seluruh Indonesia.

Beberapa wilayah Indonesia merasakan kesulitan mendapatkan akses air untuk keperluan pertanian, perkebunan atau bahkan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian pakar lingkungan berpendapat, krisis air disebabkan karena faktor kerusakan ekologis. Di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah jauh menurun, mata air-mata air tercemar dan persediaan menurun secara drastis, bahkan di tahun 2008 tercatat 64 DAS di beberapa wilayah Indonesia berada dalam keadaan kritis. Selain faktor kerusakan ekologis, beberapa pakar berpendapat bahwa krisis air berkenaan dengan privatisasi pelayanan pasokan air dan keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumberdaya air. Sekitar 95% dari kegiatan-kegiatan pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor publik, yang kemudian diserahkan pada pihak swasta.

Di Indonesia, privatisasi air dilegalkan oleh Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lahirnya undang-undang ini pada 19 Februari 2004 diikuti dengan terbitnya sejumlah peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan privatisasi air. Privatisasi air di Indonesia sangat berkontribusi terhadap krisis air bersih, karena UU No. 7 Tahun 2004 memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.

Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat, karena tidak memiliki akses untuk air minum, bahkan air bersih dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu, penyediaan kebutuhan pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan-kekuatan pasar. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan privatisasi air dapat dikatakan tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian halnya dengan pemanfaatan sumberdaya air, pemerintah harus pula mengoptimalkan pengelolaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam tulisan berikut akan dibahas trend global berupa privatisasi air dan dominasi kapitalis, privatisasi air di Indonesia dan berbagai dampak negatifnya, serta kasus khusus privatisasi air yang melibatkan multi national corporation, MNC, Danone.

Trend Global: Privatisasi Air & Dominasi Kapitalis, MNC

Menurut perkiraan, sekitar tahun 2025 dua pertiga penduduk dunia tidak akan memiliki akses kepada air minum dalam jumlah yang memadai. Namun, bagi banyak perusahaan multinasional “krisis air” bagi kemanusiaan tersebut dilihat sebagai peluang ekonomi. Dengan begitu, konspirasi kaum kapitalis dalam penguasaan sumberdaya air, bukanlah sekedar isu. Majalah Fortune, edisi Mei 2000 menuliskan: Pada abad ke-21 air tampaknya akan mengambil peran yang dimainkan minyak pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai yang menentukan kesejahteraan bangsa-bangsa. Namun, yang perlu diingat adalah air tidak seperti minyak, karena air tidak memiliki substitusi!

Sebelum membahas lebih lanjut bagaimana para kapitalis menjalankan agendanya, kita perlu melihat tentang potensi bisnis air. Secara global, MNCs berlomba-lomba menguasai bisnis air karena potensi keuntungan sekitar US$ 400 miliar hingga US$ 3 triliun per tahun (Laporan ICIJ, 2003). Pangsa air di dunia saat ini diperkirakan mencapai US$ 800 miliar, melibatkan 6% populasi dunia yang membayar kepada korporasi air untuk mendapatkan air. Pada tahun 2015, potensi keuntungan ini akan mencapai beberapa triliun dolar Amerika, jika privatisasi air minum milik pemerintah menjangkau 17% penduduk dunia. Dua korporasi papan atas dunia yang menguasai 70% pasar di sektor air adalah Vivendi Environment dan Suez Lyonnaise , keduanya dari Perancis. Jika pendapatan tahunan keduanya digabungkan akan mencapai US$ 70 miliar, termasuk sebesar US$ 10 miliar langsung dari jasa pelayanan air. Tahun 2001, hampir setengah pendapatan Suez sebesar US$ 38 miliar berasal dari perusahaan divisi airnya, Ondeo.

Bagi banyak orang, air tidak terpikirkan sebagai sebuah “komoditas” yang seluruhnya harus diperjualbelikan. Air selalu dilihat sebagai suatu ‘barang publik’ karena air sangat hakiki, bukan saja untuk kehidupan manusia, namun untuk keberlangsungan mahluk hidup di bumi. Sayangnya, dalam World Trade Organization (WTO) dan GATS-nya, penyediaan air diatur dengan sejumlah peraturan. Aturan-aturan tersebut memberi kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan multinasional untuk “membeli dan menjual” air dalam suatu negara sesuai keinginan mereka. Hal yang paling penting dari peraturan baru itu adalah pelaksanaan privatisasi air.

Melalui privatisasi air, maka jaminan pelayanan hak dasar rakyat banyak atas air ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar. Dalam hal ini, World Bank (Bank Dunia, BD) justru menyatakan bahwa manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai komoditas ekonomis, dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan (Bank Dunia, 1992). Menurut BD, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah harga dan perlu dinaikkan. Untuk itu BD (didukung oleh Asia Development Bank, ADB) mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai full cost recovery.

Secara singkat, full cost recovery dalam pengelolaan air merupakan suatu konsep dan cara yang diusung untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari sumberdaya air. Konsep full cost recovery dilaksanakan melaui pemberlakuan privatisasi air. Namun dengan konsep ini konsumen harus menanggung seluruh biaya penyediaan air. Dengan demikian privatisasi air, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Terlepas bahwa konsep ini merugikan bagi konsumen, dalam praktiknya konsep full cost recovery dan privatisasi telah terlaksana dengan mulus di seluruh dunia melalui berbagai cara.

Negara-negara kapitalis pengusung privatisasi air menggunakan berbagai instrumen untuk menyukseskan gagasan privatisasi air, baik melalui jalur resmi hubungan antar Negara, organisasi/fora internasional, maupun melalui berbagai tekanan politik dan ekonomi. Salah satu sarana ampuh yang dimanfaatkan adalah menggunakan organisasi-organisasi internasional seperti BD, ADB dan Intertional Monetary Fund (IMF), serta WTO, GATT, dll. Sebagaimana layaknya penjajah, negara-negara kapitalis, bekerjasama dengan MNC yang dimiliki, telah menghalalkan segala cara untuk mencapai target privatisasi air di seluruh dunia.

Dalam banyak hal, BD dan IMF, memberlakukan persyaratan bagi perolehan pinjaman yakni privatisasi penyediaan air dan banyak pelayanan lain. Sebuah kajian secara acak atas pinjaman-pinjaman IMF di 40 negara selama tahun 2000 mengungkapkan, bahwa 12 negara telah dipaksa melakukan privatisasi penyediaan air agar memperoleh pinjaman. Umumnya, negara-negara Afrika, negara-negara terkecil, termiskin, negara dengan banyak hutang yang tertimpa persyaratan-persyaratan ini. Lebih dari 5 juta penduduk mati setiap tahun di Afrika akibatnya minimnya akses air.

Laporan International Coalition of Investigative Journalist (ICIJ) menganalisa bahwa dari total US$ 20 miliar pinjaman BD ke sejumlah negara dalam periode 12 tahun (1990-2002) ditemukan 276 pinjaman berlabel water suplay atau ”penyediaan air”. Dalam kurun waktu tersebut, 30 persen di antaranya dibarengi dengan syarat adanya privatisasi air. Syarat adanya privatisasi ini kemudian meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode 1990-1995 terdapat 21 pinjaman mensyaratkan adanya privatisasi sektor lain. Dan pada periode 1996-2002, angka ini meningkat menjadi tiga kali, yakni menjadi 61 pinjaman.

Perang besar menyangkut air pertama pada abad ke-21 terjadi di Bolivia, ketika Bank Dunia (2001-2002) menolak untuk membarui pinjaman US$25 juta kalau pengelolaan air minum tidak diprivatisasi. Setelah penggunaan air minum publik di kota Cochabamba dijual ke Bechtel, sebuah perusahaan besar AS, sewa air segera melonjak. Penduduk Cochabamba melakukan protes dalam demonstrasi besar-besaran berhari-hari yang akhirnya berujung pada mogok umum sehingga mematikan ekonomi kota dan Bechtel dipaksa untuk meninggalkan negara tersebut.

Privatisasi Air di Indonesia

Salah satu contoh privatisasi air menguntungkan bagi MNC adalah bagaimana Nestle (MNC asal Swiss) memanfaatkan air dari Danau Michigan di Amerika. Selain berbisnis dairy product, Nestle adalah perusahaan yang memiliki 68 buah perusahaan air botol. Dari bisnis air botol Danau Michigan, Nestle memperoleh keuntungan sekitar US$ 1,8 juta per hari. Di Indonesia, pada tahun 1997, sedikitnya 20 investor asing dan nasional telah antri menanti untuk melakukan investasi di sektor penyediaan air bersih di berbagai kota di Indonesia, dengan nilai total Rp 3,68 triliun. Diantara investor asing yang terlibat dan tertarik dalam bisnis ini seperti Suez Lyonnaise Des Eaux (Perancis) dan Thames Water (Inggris).

Prospek bisnis seperti disebut di atas adalah motivasi uatama dilakukannya privatisasi air. Privatisasi air sebagai salah satu pangkal permasalahan krisis air di Indonesia, bermuara pada pengesahan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Dengan pemberlakuan undang-undang ini, privatisasi sumberdaya air di Indonesia, baik oleh perusahaan swasta dalam negeri maupun asing semakin marak terjadi. Sebelumnya, berbagai pihak telah berupaya untuk membatalkan UU No 7 Tahun 2004 melalui uji materi pada Mahkamah Konstitusi. Tetapi harapan itu kandas karena MK menolak permohonan uji materi undang-undang tersebut.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, agenda privatisasi dengan pengesahan UU No.7 Tahun 2004 didukung lembaga dunia, seperti BD, ADB, dan IMF. UU No.7 Tahun 2004 membuka peluang sebesar-besarnya terhadap privatisasi, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun perusahaan swasta, termasuk MNC. Serangkaian strategi dan langkah sistematis dengan melibatkan BD, ADB dan IMF gencar dilakukan untuk mendapatkan penguasaan atas air. Privatisasi SDA dengan mudah dapat diperoleh hanya dengan mengantongi izin pemerintah. Parahnya, praktek perizinan selama ini diwarnai korupsi dan menyampingkan hak masyarakat.

Dengan UU No.7 Tahun 2004, penyerahan pengelolaan air kepada swasta telah dimulai. Padahal, pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB telah menegaskan bahwa hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Ternyata rekomendasi PBB tersebut tidak berlaku di Indonesia.

Dampak Privatisasi Air di Indonesia

Privatisasi air antara lain menyebabkan hak masyarakat sekitar hutan yang selama ini mengambil air dari sumber air di wilayahnya kian terancam. Mereka harus rela membagi air yang selama turun temurun mereka ambil secara gratis, yang kemudian dikuasai swasta. Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka pun harus membayar, tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Fakta hari ini menunjukkan, pemerintah daerah kerap mendongkrak pendapatan asli daerahnya (PAD) ketimbang kebutuhan masyarakatnya. Dalam hal ini, semakin menunjukkan adanya legitimasi pelanggaran HAM atas rakyat oleh negara.

Kebijakan privatisasi air membawa dampak menurunnya produktivitas pertanian dan tidak terpenuhinya kebutuhan air bagi masyarakat. Masyarakat pun menjadi sangat dirugikan karena harus membayar mahal untuk memperoleh akses air bersih. Kerugian yang dialami tidak hanya kerugian ekonomi, namun juga kerugian ekologis. Sebagai contoh, privatisasi air menyebabkan lebih dari 9.000 KK di Serang terancam kekurangan air baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk lahan sawah akibat dari pembangunan pembangunan pabrik air Danone seluas 100 hektar sawah yang subur di Padaricang untuk kemudian dikonversi menjadi sumur arthesis penghasil air. Akibat protes petani, maka kegiatan penyedotan air dihentikan pada September 2008.

Contoh lainnya adalah mengeringnya beberapa daerah aliran sungai (DAS). Dari 470 DAS di seluruh Indonesia, dengan luasan area 3 juta hektar, pada 2008 sebanyak 64 DAS atau seluas 2,7 hektar berada dalam kondisi sangat kritis. Diprediksi, angka ini terus meningkat setiap tahun jika eksploitasi sumberdaya air terus berlangsung. Pada 1984, hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis; tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS kritis; tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis; tahun 1998 menjadi 42 DAS kritis; tahun 2000 menjadi 58 DAS kritis; tahun 2002 menjadi 60 DAS kritis dan tahun 2008 meningkat menjadi 64 DAS kritis.

Bagaimana dampak nyata dari penerapan UU No.7 Tahun 2004 dapat ditelususri lebih lanjut pada dua sektor usaha kegiatan eksploitasi air yang diprivatisasi, yakni 1) dalam bentuk usaha proses distribusi air, dan 2) dalam bentuk usaha penyediaan air minum dalam kemasan (AMDK). Usaha proses distribusi air umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum daerah (PDAM) milik daerah, sedangkan usaha AMDK dijalankan tidak saja oleh perusahaan besar, termasuk MNC seperti Danone, tetapi juga perusahaan-perusahaan kecil yang menyebar di seluruh Indonesia.

Kasus PDAM

Sebelum pemberlakuan undang-undang suber daya air, negara-negara kapitalis, melalui BD dan ADB, telah berkeja untuk mendapatkan kesempatan bisnis dari proses distribusi air yang dilakukan PDAM. Dengan alasan tidak maksimal menyediakan air bersih, BD dan ADB mensyaratkan pinjaman kepada Indonesia agar melakukan peningkatan sarana PDAM dan privatisasi. Dalam hal ini Indonesia telah menerima sejumlah pinjaman untuk pembangunan proyek-proyek sarana PDAM di berbagai kota.

Proyek-proyek PDAM tersebut umumnya dibangun tanpa perhitungan bisnis yang benar dan kapasitasnya melebihi kebutuhan. Hasil dari program bantuan ini adalah, sekitar 246 PDAM milik negara bermasalah dan mempunyai hutang dan tidak mampu membayar hutang kepada BD dan ADB . Sekitar 250 PDAM milik negara diprivatisasi dengan menggunakan dana bantuan BD sebesar US$ 80 juta. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Perkotaan dan Pedesaan Wilayah Barat Direktorat Jenderal Perkotaan dan Pedesaan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Totok Supriyanto.

Salah satu contoh kerugian negara dalam privatisasi PDAM adalah pada kerjasama bisnis berupa penjualan saham PDAM Jaya kepada Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada tahun 1998. Penjualan saham tersebut menghasilkan dua perusahaan swasta baru dengan nama PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Kerjasama dilakukan dengan maksud untuk mencapai sasaran berupa meningkatkan produksi, distribusi, pengelolaan, dan kemampuan teknologi pengelolaan air di wilayah kerjasama.

Ternyata tujuan kerjasama tidak tercapai, terutama dalam upaya maksimalisasi penyediaan air bagi para konsumen. Yang terjadi adalah hal sebaliknya, selama penguasaan PAM oleh asing tersebut, tarif air PAM ibukota telah naik sebanyak 5 kali dalam kurun waktu 1998-2004. Pada tahun 2004, tarif PAM naik sebesar 30%. Selama bekerja sama dengan PDAM Jaya, PT Thames Pam Jaya hanya berinvestasi sebesar Rp 550 milyar. Di sisi lain, untuk mempercepat pengembalian investasi Thames, pemda harus berulangkali menaikan tarif PAM. PT Thames Pam Jaya pun terus mengeruk keuntungan melalui pengelolaan air di ibu kota, pada tahun 2006, pendapatannya mencapai Rp 617, 948 miliar, dan meningkat pada tahun 2007 hingga mencapai Rp 626, 734 miliar. (bersambung)

foto ilustrasi: tabloid harapan indah

Kasus AMDK

Selain pada privatisasi PDAM yang melibatkan asing, kerugian juga terjadi pada produksi air minum dalam kemasan (AMDK). Dari sejumlah 246 perusahaan AMDK yang beroperasi di Indonesia dengan total produksi sebesar 4,2 miliar liter pada tahun 2001, 65% dipasok oleh 2 badan hukum perusahaan asing, yakni Aqua (Danone) dan Ades (Coca Cola Company). Sisanya 35% diproduksi oleh 244 perusahaan AMDK lokal.

Aqua merupakan pelopor bisnis AMDK, dan saat ini menjadi produsen terbesar di Indonesia. Bahkan pangsa pasarnya sendiri sudah meliputi Singapura, Malaysia, Fiji, Australia, Timur Tengah dan Afrika. Di Indonesia Aqua menguasai 80 persen penjualan AMDK berbentuk galon. Sedangkan untuk keseluruhan bisnis AMDK di Indonesia, Aqua menguasai 50% pasar. Saat ini Aqua memiliki 14 pabrik yang tersebar di Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi.

Produsen AMDK merk Aqua, PT. Golden Mississippi (kemudian bernama PT Aqua Golden Mississipi) didirikan oleh Tirto Utomo (1930-1994) pada 23 Pebruari 1974. PT Aqua Golden Mississipi (AGM) bernaung di bawah PT. Tirta Investama. Pabrik pertamanya didirikan di Bekasi. Sejak saat itu, orang Indonesia mulai mengkonsumsi AMDK dengan membeli.

Danone, sebuah korporasi multinasional asal Perancis, berambisi untuk memimpin pasar global lewat tiga bisnis intinya, yaitu: dairy products, AMDK dan biskuit. Untuk dairy products, kini Danone menempati posisi nomor satu di dunia dengan penguasaan pasar sebesar 15%. Sedangkan untuk produk AMDK, Danone mengklaim telah menempati peringkat pertama dunia lewat merek Evian, Volvic, dan Badoit. Sebagai produsen AMDK nomor satu dunia, Danone harus berjuang keras menahan gempuran Coca-Cola dan Nestle. Danone terus menambah kekuatannya dengan memasuki pasar Asia, dan mengambil alih dua perusahaan AMDK di Cina.

Di Indonesia, Danone berhasil membeli saham Aqua pada tanggal 4 September 1998. Aqua secara resmi mengumumkan “penyatuan” kedua perusahaan tersebut. Tahun 2000 Aqua meluncurkan produk berlabel Aqua-Danone, dan tahun 2001, Danone meningkatkan kepemilikan saham di PT. Tirta Investama dari semula 40% menjadi 74%, sehingga Danone kemudian menjadi pemegang saham mayoritas Aqua-Danone.

Dalam berbisnis, Aqua-Danone kerap melanggar prinsip good corporate governance (GCG) dan merugikan masyarakat. Salah satu contoh adalah pada eksploitasi air di Kubang Jaya, Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi. Mata air di Kubang telah dieksploitasi habis-habisan oleh Aqua sejak tahun 1992. Sebelumnya kawasan ini adalah lahan pertanian, yang kemudian dirubah menjadi kawasan ‘seperti hutan’ yang tidak boleh digarap. Sekeliling kawasan mata air Kubang dipagari tembok oleh Aqua-Danone dan dijaga ketat oleh petugas. Tak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan tersebut tanpa surat ijin langsung dari pimpinan kantor pusat Aqua Grup di Jakarta.

Pada awalnya air yang dieksploitasi adalah air permukaan. Namun sejak 1994, eksploitasi jalur air bawah tanah dilakukan menggunakan mesin bor tekanan tinggi. Sejak saat itu kualitas dan kuantitas sumberdaya air di wilayah tersebut menurun drastis. Masyarakat harus membayar mahal karena dampak berkurangnya ketersediaan air bersih. Tinggi muka air sumur milik kebanyakan warga maksimal hanya tinggal sejengkal (~15 cm). Bahkan beberapa sumur menjadi kering samasekali. Padahal sebelumnya, tinggi muka air sumur mencapai 1-2 meter. Ketika sumber air belum dieksploitasi, masyarakat hanya menggali sumur sedalam 8-10 meter untuk kebutuhan air bersih. Sekarang, warga perlu menggali hingga lebih dari 15-17 meter, atau membeli mesin pompa untuk mendapatkan air.

Masalah lain di Kubang Jaya adalah, kurangnya ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi pertanian. Masalah ini dialami petani dari hampir semua kampung di kawasan desa Babakan Pari. Para petani di beberapa kampung tersebut saling berebut air karena ketersediaan air yang sangat kurang. Bahkan beberapa sawah tidak mendapat bagian air dan mengandalkan air hujan saja. Akibatnya, banyak sawah kekeringan pada musim kemarau dan mengakibatkan masalah perekonomian serius bagi para petani.

Hal serupa juga terjadi di Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Aqua-Danone mengeksploitasi air besar-besaran dari sumber mata air sejak 2002. Padahal, mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Karena debit air menurun drastis sejak Aqua-Danone beroperasi, maka petani harus menyewa pompa untuk irigasi. Parahnya, untuk kebutuhan sehari-hari pun, warga harus membeli air dari tangki air dengan harga mahal. Hal ini karena sumur-sumur mereka sudah mengering akibat “pompanisasi” besar-besaran yang dilakukan Aqua-Danone. Ini sangat ironis mengingat Kabupaten Klaten merupakan wilayah yang memiliki 150-an mata air.

Hal ini kemudian memicu reaksi dari masyarakat petani dan pemerintah daerah di Kabupaten Klaten pada tahun 2004. Karena Air yang dulu melimpah mengairi sawah, kini mulai mengering dan menyusahkan para petani di Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya pemerintah Kabupaten Klaten juga mengancam akan mencabut ijin usaha perusahaan tersebut, tapi sampai saat ini eksploitasi air tanah di Klaten oleh Aqua-Danone masih terus berlangsung.

Diperkirakan eksploitasi air yang dilakukan pada sumber-sumber air di Kabupaten Klaten oleh Aqua-Danone mencapai 40 juta liter/bulan (Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi/ BPPE). Jika dengan estimasi harga jual Rp 80 miliar/bulan maka nilai eksploitasi air mencapau Rp 960 miliar/tahun. Sementara itu, untuk eksploitasi di Klaten tersebut, Aqua-Danone/ PT Tirta Investama (AGM) hanya membayar retribusi Rp 1,2 miliar, sebagai PAD Kabupaten Klaten, dan sekitar Rp 3-4 juta pembayaran pajak (Pasal 5 Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2003). Untuk di sumur Klaten yang seharusnya hanya diizinkan untuk menyedot air sebanyak 20 liter/detik (karena tanpa Amdal), pihak Danone-Group mampu menguras air hingga 64 liter/detik.

Kasus Penyelewengan AMDK Aqua-Danone

Aqua-Danone hingga saat ini telah memiliki 14 pabrik dengan 10 sumber air berbagai daerah di Indonesia, yakni Berastagi Sumut, Jabung dan Umbul Cancau (Lampung), Mekarsari, Sukabumi (Jabar), Subang, Cipondoh (Jabar), Wonosobo, Mangli (Jatim), Klaten, Sigedang (Jateng), Pandaan (Jatim), Kebon Candi (Jatim), Mambal (Bali) dan Menado, Airmadidi (Sulut). Dua sumur terbesar yang mensuplai lebih dari 70% air merk Aqua ialah sumur Klaten dan Sukabumi. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), perusahaan Aqua-Danone terdaftar dengan nama Aqua Golden Mississipi (AGM). Publik memiliki sekitar 6% saham AGM

http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/lapsus/pdam2.jpg

Dalam hal nilai saham, tercatat bahwa Aqua-Danone telah mengalami kenaikan harga yang spektakuler selama menjadi perusahaan terbuka. Jika pada saat pertama kali go public saham AGM hanya berharga beberapa ribu rupiah (anggap saja Rp 10.000) per lembar, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi sekitar Rp 130.000. Saat ini (September 2009) harga saham AGM adalah sekitar Rp 240.000 per lembar. Berulangkali sejak tahun 2000 hingga 2004, atau juga berlanjut hingga beberapa tahun terakhir, AGM berupaya untuk delisting (menjadi perusahaan tertutup) dari BEI. Karena harga sahamnya terus meningkat, maka keinginan delisting ini patut dipertanyakan atau malah dicurigai.

Tampaknya AGM tidak ingin melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun, terutama jika memperhatikan praktik bisnis yang dijalankan selama ini yang jauh dari prinsip good corporate governance. AGM atau Aqua-Danone tampaknya ingin meneruskan prilaku koruptif penyedotan air tanpa kontrol, menyembunyikan data produksi dan pendapatan, termasuk upaya penggelapan pajak yang telah berlangsung sebelumnya, sebagaimana diuraikan berikut ini.

Dari seluruh pabrik AMDK yang dimiliki, diperoleh informasi bahwa produksi Aqua-Danone terus meningkat dari tahun ke tahun (lihat Tabel 1). Namun meskipun produksi air kemasan terus meningkat, laba kotornya malah mengalami penurunan atau stagnan. Sejak tahun 2001 hingga 2008, AMDK yang diproduksi telah meningkat dari 2,3 miliar liter menjadi 5,71 liter, atau peningkatan sekitar 250%. Namun laba kotor perusahaan justru lebih rendah, yaitu turun dari Rp 99,01 pada tahun 2001 menjadi Rp 95,63 miliar pada tahun 2008. Penurunan ini tampaknya tidak wajar dan pantas untuk diusut lebih lanjut.

Disamping memanipulasi informasi tentang produksi air dan laba kotor di atas, Aqua-Danone juga melakukan berbagai hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance, termasuk dalam asal-usul pemilikan saham. Secara garis besar, berbagai dugaan penyelewengan yang terjadi pada Aqua-Danone antara lain adalah:

• Aqua-Danone selalu mencantumkan pada label kemasan air minumnya sebagai produk yang bersumber dari mata air alami pegunungan. Namun pada kenyataannya, sumber AMDK merk Aqua ini berasal dari eskplotasi air tanah di berbagai daerah dengan menggunakan berbagai peralatan canggih;

• Danone mengaku memiliki 74% Tirta Investama. Namun dalam lembaran negara tahun 2002, nama Danone tidak tercantum sebagai pemegang saham Tirta Investama. Yang tercantum adalah pemegang saham dengan nama-nama pribadi/swasta yang berdomisili di Singapura. Pemerintah Indonesia harus mengusut manipulasi ini, termasuk mengusust hubungaan Danone dengan swasta-swasta tersebut;

• Melaksanakan operasi penyedotan air di sebagian lokasi hanya dengan menggunakan memorandum of understanding (MOU) dengan pemda masing-masing lokasi. Hal ini jelas tidak mempunyai landasan hukum. Dalam hal ini, Aqua-Danone harus mematuhi peraturan dari Departemen ESDM, termasuk dalam membuat kontrak dengan pemerintah, tidak sekedar MOU;

• Menyedot air tanah pada lokasi penambangan air di daerah-daerah , umumnya tanpa AMDAL, karena Aqua-Danone mengaku menyedot jumlah air di bawah kewajiban AMDAl. Aqua-Danone wajib memiliki AMDAL jika mengeksploitasi air lebih dari 50 liter/detik. Untuk menghindari kewajiban ini, Aqua-Danone secara resmi mengaku mengeksploitasi dalam volume yang lebih rendah dari 50 liter/detik, meskipun pada praktiknya yang disedot melebihi 50 liter/detik;

• Sejalan dengan pelanggaran AMDAL, Aqua-Danone menyedot air dari lokasi penambangan dalam jumlah/volume (debit) yang umumnya tidak transparan. Umumnya terjadi perbedaan antara volume air yang disedot (dan jumlah sumur yang digunakan) dengan volume (dan jumlah sumur) yang dilaporkan secara resmi. Seperti terjadi di Klaten, yang diijinkan untuk disedot 20 liter/detik, namun kondisi riil di lapangan adalah 64 liter/detik;

• Menggelapkan pembayaran sebagian kewajiban retribusi penyedotan air kepada pihak pemda-pemda sebagai akibat diturunkannya (direndahkan/under-valued dengan sengaja) volume air yang dilaporkan secara resmi, dibanding volume yang sebenarnya disedot;

• Meggelapkan pajak karyawan ekspatriat dengan cara menurunkan (merendah-rendahkan) besarnya gaji dibanding yang sesungguhnya. Sebagai contoh, seorang ekspatriat bernama Bui Khoi Hung Gilbert (sesuai bukti-bukti yang penulis terima dari yang bersangkutan), bekas karyawan Aqua-Danone (2004-2006) secara resmi bergaji sekitar € 7.600 atau US$ 10.600 /bulan (US$ 127.680/tahun). Namun oleh manajemen Aqua-Danone, yang bersangkutan dilaporkan hanya bergaji US$ 2000/bulan (US$ 24.000/tahun). Jika besarnya PPH adalah 35%, maka besarnya pajak yang digelapkan adalah 35% x US$(127.680-24.000) = US$ 36.288, atau sekitar Rp 362 juta/tahun. Aqua-Danone mempekerjakan ekspatriat sekitar 15 -20 orang. Dengan demikian, kerugian negara akibat penggelapan pajak penghasilan (PPH) yang dilakukan Aqua-Danone adalah Rp 5,43 miliar – Rp 7,24 miliar per tahun.

• Dalam rangka mengurangi beban biaya operasi, merubah status sebagian “karyawan tetap pribumi”, dengan cara mem-PHK dan dialihkan ke suatu yayasan. Karyawan tersebut kemudian dipekerjakan kembali sebagai tenaga outsourcing yang dikontrak melalui yayasan tersebut.

Pengamat bisnis Erwin Ramedhan yang telah lama mengamati gerak-gerik Aqua-Danone, mempersoalkan status hukum PT. Tirta Investama selaku induk perusahaan Aqua-Danone. Dalam berbagai kesempatan sering diungkapkan bahwa PT. Tirta Investama merupakan susidiary atau anak perusahaan Danone. Namun tidak dijelaskan Danone mana yang dimaksud, apakah Danone Paris, Danone Asia Pte Ltd Singapore, atau Danone Asia Pacific Shanghai. Jika diperiksa di lembaran berita negara tahun 2002, Danone tidak tercatat sebagai pemegang saham PT.Tirta Investama. Yang ada hanyalah perusahaan-perusahaan Singapura seperti Feddian dan Sondon selaku pemegang saham tersebut.

Selanjutnya, Danone mengaku sebagai pemegang saham Aqua Golden Mississippi yang telah dijualnya kepada PT. Tirta Investama. Hal inilah yang menyebabkan status PT. Tirta Investama menjadi tidak jelas dengan berbagai istilah-istilah lain, seperti anak perusahaan (subsidiary), strategic alliance, co-branding, partnership dan lain-lain. Banyak kalangan menduga bahwa hal tersebut merupakan strategi Aqua-Danone untuk menghilangkan semua kemungkinan transparansi korporat demi gerak bebas modal, pimpinan holding dan penentu finansial dan bahkan tindakan pencucian uang.

Seperti dimuat di Kompas tanggal 3 April 2009 yang lalu, Group Danone berinisiatif mengalokasikan dana sebesar € 100 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun untuk membaiayi proyek-proyek sosial yang berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan di sejumlah negara. Indonesia merupakan negara yang diperioritaskan memperoleh bagian terbesar dari dana tersebut. Kita patut berterima kasih atas adanya bantuan tersebut, terutama jika sumber dana bantuan dapat dipertanggungjawabkan dan bantuan diberikan tanpa pamrih. Namun di sisi lain kita bertanya-tanya, mengapa Danone mampu memberikan bantuan di saat krisis global sedang memuncak. Kita juga sedikit khawatir, mengapa bantuan diberikan pada saat menjelang Pemilu. Terlepas dari itu semua, kita meminta semua pihak untuk bersikap transparan: Danone harus mendeklarasikan berapa sebenarnya jumlah bantuan yang diberikan dan kepada siapa atau instansi mana diberikan. Kita juga menuntut lembaga negara yang telah menerima bantuan tersebut untuk menyampaikan kepada publik segala sesuatu terkait bantuan tersebut. Kita meminta agar BPK mengaudit penerimaan dan penggunaan dana bantuan, termasuk meminta Presiden SBY memerintahkan klarifikasi atas bantuan Danone ini.

Berbagai penyelewengan Aqua-Danone yang diuraikan di atas merupakan bukti bagaimana satu MNC menjalankan bisnis air di Indonesia, yang antara lain mendapat legitimasi UU No.7 Tahun 2004. Disamping itu Aqua-Danone tampaknya memang menjalankan praktik bisnis yang tidak sesuai dengan prinsip GCG, melanggar etika dan aturan hukum yang berlaku. Untuk itu semua lembaga negara terkait, seperti Departemen ESDM, Departemen Keuangan, Departemen LH, Departemen Dalam Negeri, Ditjen Pajak, Polri, dsb., harus mengusut kasus ini secara terintegrasi Seluruh ketentuan teknis, prosedur operasional dan pertaturan yang berlaku harus ditegakkan. Kita sebagai bangsa harus menegakkan kedaulatan negara dan mengutamakan kepentingan rakyat, serta menjaga martabat bangsa dari segala bentuk moral hazard, termasuk intervensi dan suap dari asing. Penulis sendiri telah melaporkan dugaan kejahatan korporasi yang dilakukan oleh Aqua-Danone kepada Ditjen Pajak dan KPK pada bulan Nopember-Desember 2008 yang lalu, tanpa hasil yang diharapkan....

Menggugat Pemerintah

Privatisasi air telah menyebabkan hilangnya jaminan pelayanan hak dasar rakyat atas air, melanggar HAM, membuat akses masyarakat terhadap air terbatas dan mahal, merusak lingkungan, menimbulkan krisis air, mengganggu kebutuhan pertanian dan kehidupan dasar rakyat. Privatisasi PDAM dan bisnis AMDK oleh MNC telah mendatangkan berbagai dampak negatif yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk melakukan tindakan korektif. Peran pengelolaan air tidak dapat diserahkan pada swasta yang meletakkan keuntungan sebagai tujuan pertama (profit first).

Sindikat internasional, termasuk BD, ADB, IMF dan WTO akan terus menjalankan agenda privatisasi dengan mendukung penuh MNC. Kerjasama sindikasi ini telah dan akan terus memaksa pemerintah untuk patuh menyerahkan kuasa dan manfaat atas sumberdaya air dan kekayaan alam lain milik negara. Untuk maksud tersebut, mereka telah memaksakan pemberlakuan UU No.7 Tahun 2004, dan hal ini tak lepas dari ketakutan pemerintah pada kekuatan asing, perilaku KKN pemegang kekuasaan, dan nafsu menjajah yang diusung para kolonialis dan MNC, termasuk Aqua-Danone.

Pemerintah harus merubah sikap secara mendasar dalam pengelolaan sumberdaya air Jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggungjawab pemerintah. Pemerintah harus kembali pada amanat konstitusi, bahwa pengelolaan sumberdaya air harus dijalankan untuk memperoleh manfaat bagi sebeasr-besar kemakmuran rakyat. Privatisasi yang berlaku saat ini harus dikoreksi atau bahkan diakhiri. Seluruh penyelewengan dan pelanggaran yang telah terjadi, termasuk oleh MNC seperti Aqua-Danone harus diselesaikan secara tuntas dan diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Penegakan hukum atas Aqua-Danone merupakan salah satu gugatan dan tuntutan kami kepada pemerintah dalam tulisan ini. Itu kalau kita masih menganggap negara ini negara hukum dan kita masih mempunyai harga diri dan kedaulatan.[]

foto ilustrasi: tabloid harapan indah

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.