Translate

Telusuri via Blog Ini

Sabtu, 28 Agustus 2010

I. KE-UNIK-AN AL-QUR’AN

UPAYA UNTUK MENGUAK DAN MEMAHAMI KITABULLAH
DARI ASPEK ASPEKNYA YANG TERSEMBUNYI


Kata Al-Qur’an kalau digunakan sebagai nama kitab berarti ‘bacaan’. Istilah ini sama sekali tidak menunjukkan kandungan maupun bidang yang digeluti kitab itu. Kitab dalam pengertian Al-Kitab atau Buku Suci diidentikkan dengan kata scripture yang berarti a body of writings considered as authoritative atau a classically embodying the essence of a way of life, movement, era or nation.

Dalam diskripsi ini, yang membedakan Al-Qur’an dengan buku-buku lain ialah kata ‘authoritative’ yang berarti demanding a submission , dan kata classically yang berarti of the highest quality, having a value or position recognized and unquestioned. Ini memberi pengertian bahwa Al-Qur’an merupakan suatu bacaan yang menghendaki ketundukkan pembacanya. Jadi siapa yang membaca Al-Qur’an diharapkan memahami, meyakini, menghayati menundukkan diri, baru melaksanakan apa yang terkandung di dalamnya. Qoro’na wa atho’na.


Darimana datangnya sifat authoritative (otoritas) Al-Qur’an ?
 
 Surat pertama yang diturunkan berbunyi:
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan,
Menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah ! Tuhanmu yang Maha Pemurah,
Yang mengajar dengan kalam,
Mengajar manusia apa yang tidak dapat diketahuinya.....
Jadi bacaan ini merupakan kalam (tulisan/kata) Ilahi yang mengandung pengetahuan yang tidak dapat digali manusia dari sumber yang lain. Selain dengan kalam, Tuhan mengajar manusia melalui fenomena alam. Dengan membaca alam saja manusia tidak dapat mengetahui pengetahuan yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, sifat otoritas yang dimiliki Al-Qur’an disebabkan karena kandungannya berasal dari Sang Pencipta dan mengandung suatu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dengan membaca alam.   Suatu pilihan nama yang Unik.

Bacaan yang merupakan wahyu Ilahi dan berisi pengetahuan yang diperlukan manusia diberikan untuk melengkapi rahmat-Nya. Kandungan bacaan tersebut diberikan secara bertahap. Sebelum kitab itu lengkap, dikirimkan oleh Nya seorang Rasul, Muhammad, untuk membimbing manusia. Setelah kitab itu lengkap maka Rasul tidak diperlukan lagi dan manusia pasca-Muhammad harus mampu merekayasa kehidupannya tanpa bimbingan langsung. Yang ditinggalkan Rasul hanya berupa pesan lisan dan tauladan yang telah dibukukan oleh ummat terdahulu. Supaya mudah dipahami, Tuhan mengubah tertib susunan wahyu-Nya dari susunan nuzulnya menjadi seperti Al-Qur’an yang kita kenal sekarang. Perubahan tertib susunan itu tidak ditujukan untuk mengubah kandungan atau ajarannya, tetapi bertujuan agar manusia pasca-Nabi mampu memahami ajaran-Nya untuk merekayasa kehidupannya secara mandiri. Jika pada zaman Nabi pendekatan terhadap wahyu dilakukan secara edukatif-instruktif, maka pada zaman pasca-Nabi manusia harus mendekati wahyu secara materiil suatu pendekatan edukatif-teoritis. Dapat dikatakan bahwa pada zaman Nabi Al-Qur’an berfungsi sebagai handbook/buku penuntun, sedangkan pada zaman pasca-Nabi Al-Qur’an berfungsi sebagai textbook/buku teori.

Bagaimana wahyu bisa mengubah wajahnya dari handbook menjadi textbook ?
 
Kandungan Al-Qur’an bukan berupa ilmu kehidupan, tetapi berupa hudaa dan furqon-nya kehidupan [petunjuk/pengarah/kompas dan kriteria/norma/nilai] yang dirumuskan sebagai larangan dan perintah. Rumusan ini paling sederhana dan paling mudah dimengerti dan diikuti oleh semua manusia dengan tingkat pendidikan yang paling rendah sekalipun. Untuk tingkat yang lebih tinggi lagi tuntunan itu dituliskan sebagai peringatan dan anjuran yang selanjutnya diungkapkan sebagai ajakan, pengingat dan argumen serta contoh contoh kasus, perumpamaan dan mitsal. Untuk mereka yang keras kepala, tuntunannya disertai dengan ancaman dan pembalasan.

Apa yang di-ingatkan atau diperingatkan Al-Qur’an?
Apa yang disarankan dan dianjurkan Al-Qur’an ?
Dan apa yang diancamkan dan dihadiahkan Al-Qur’an ?

Al-Qur’an memandang kehidupan sebagai suatu intervensi manusia terhadap ‘amr Tuhan. ‘Amr ini diekspresikan sebagai fitrah, takdir dan sunnah-Nya. Jadi manusialah yang merupakan aktor intelektualisnya kehidupan. Karena itu seluruh kandungan Al-Qur’an ditujukan hanya pada manusia. Dan oleh karena rekayasa kehidupan itu dimulai dari diri manusia sampai rekayasa komunitas sosio-kultural, dan juga manusia lah yang merupakan aktor intelektualisnya, maka apa yang dapat merusak atau menunjang sendi-sendi kehidupan itu sesungguhnya berada dalam diri manusia. Karena kendala, hambatannya hanya ada dalam diri manusia, maka logis bahwa Al-Qur’an mengandung asal-usul, sifat dan kecenderungan, kedudukan manusia dalam kehidupan, contoh contoh kasuistik perjalanan hidupnya serta apa yang menunggunya dikelak kemudian hari. Semua itu menurut Al-Qur’an merupakan realita kehidupan yang harus disadari dan digunakan manusia sebagai pedoman dalam merekayasa kehidupannya. Realita ini ada yang dapat diketahui sendiri dan ada yang tidak mungkin diketahui manusia , kecuali diberitahukan oleh Tuhan melalui Al-Qur’an, ialah realita yang bersifat ghoib.

Inilah sebabnya Al-Qur’an juga menerangkan tentang kedudukan dan sifat-sifat Tuhan dan memberikan ilustrasi fisik tentang yang ghoib supaya manusia dapat memahaminya. Selanjutnya supaya pembacanya dapat lebih menghayati kandungannya, Al-Qur’an mengemukakan itu secara dialogis. Cara ini juga yang mampu menafikan perbedaan waktu, budaya antara waktu diturunkannya dengan para pembacanya. Inilah sebabnya maka Al-Qur’an disebut “ BACAAN”, sesuatu yang dapat disebut ringan sampai yang sangat berat. Sesuatu yang dapat dinikmati dan sekaligus dikaji. Sesuatu yang dapat dibaca oleh mereka yang menggeluti segala macam ragam kehidupan, mulai dari the man on the street/para awam sampai para cerdik pandai , para pakar, para khawwam, para filosof, ilmuwan sampai budayawan.

Suatu nama yang sangat UNIK !
baca selanjutnya by A Baghowi Bachar