Translate

Telusuri via Blog Ini

Selasa, 07 Desember 2010

XI. MAKNA DARI FAKTA

PERUBAHAN TERTIB SUSUNAN AL-QUR’AN.
Kadang kadang manusia lupa atau melupakan suatu fakta yang nyata, sedangkan perintah pertama Tuhan waktu menurunkan Wahyu-Nya yang terakhir dimulai dengan perintah  ‘bacalah‘. Kalau itu penting, mengapa Nabi tidak menerangkannya pada umatnya ?. Karena tentu saja umatnya tidak menanyakan. Mengapa ?, Karena tidak membutuhkan!. Sebab mereka masih memiliki Nabi, dimana segala permasalahan dapat dikembalikan. Para sahabat yang masih dekatpun tidak memerlukannya, karena ingatan akan bimbingan Nabi masih terasakan. Yang telah jauhpun kadang kadang tidak memerlukan karena masih merasa ada penghubungnya, meskipun mereka tidak menyadari bahwa jarak antara penghubungnya telah jauh, dan ada peninggalannya yang dikenal sebagai hadits dan sunnahnya. Para tabi’it tabi’in dan para umat paska sahabat masih memiliki tinggalan yang masih dirasa dekat dengan Nabi dan selanjutnya setelahnya masih ada tinggalan para Ulama yang berupa Buku Kuning.
Namun ada fakta dimana mereka memejamkan mata terhadapnya, mengapa keadaan umat Muhammad tidak berada dibarisan depan lagi setelah abad ke XII M. meskipun masih ada peninggalan para Ulama dan mujadid ? Apakah ini tidak mengandung arti bahwa yang mereka anggap pengganti Rosul itu tidak mampuni untuk membawa umatnya seperti Nabi ? Jangan menyalahkan Nabi, karena Nabi tidak pernah menunjuk siapa yang dapat menggantikan kedudukan-nya; Nabi hanya meninggalkan Al-Qur’an dan Sunahnya. Kedua hal itulah yang mampu menggantikan kedudukannya.
Suatu FAKTA, bahwa WAHYU yang ditinggalkan Nabi, yang dikenal sebagai AL-QUR’AN itu tertib susunan surah dan ayatnya berbeda dengan yang beliau terima dari Tuhan, sedang jumlah kata, ayat, surahnya tetap sama ! Fakta yang kurang mendapatkan perhatian dari umatnya. Mengapa tertib susunan surah dan ayanya  wahyu diubah ? Apakah keadaan demikian, perubahan tertib susunan wahyu yang diterima para Rosul sebelum Muhammad juga diubah tertib susunannya oleh Sang Pencipta ?,  TIDAK !. Apakah dapat disimpulkan, bahwa perubahan tertib susunan wahyu terakhir itu karena tidak akan ada Rosul lagi ?.  Apakah hubungan langsung antara LANGIT – BUMI terputus sampai sekian ?.  Kalau demikian apakah makna yang terkandung dalam fakta ini ?. Yang diubah ialah tertib susunan ayat dan surahnya, sedangkan kata, kalimat, surahnya yang menunjuk pada kandungan dan ungkapan tidak diubah. Ini berarti, bahwa yang diubah ‘cara penggunaan atau dengan terminologi lain ‘cara pendekatan’-nya.
Ini ditopang dengan kenyataan, bahwa Nabi waktu mengadakan transformasi sosio-moral- kultural menggunakan urutan nuzul ; dapat dikatakan bahwa pada waktu itu hubungan langsung antara LANGIT - BUMI terbuka selama 22 tahun, 2 bulan, 20 hari, periode dakwah Nabi. Nabi melalui Wahyu, tahap demi tahap membina masarakatnya menuju ke masarakat yang dikehendaki Tuhan, mengadakan transformasi sosio-moral dari masarakat yang berpola jahiliyah menjadi masarakat yang ber-POLA ILAHIYAH. Proses ini dalam terminologi ilmu sekarang disebut piece-meal social engineering , pendekataannya dapat dikatakan pendekatan edukatif atau dalam suasana Pancasila dikenal sebagai pendekatan TERPIMPIN.  
Sebelum Nabi wafat , atas perintah Tuhan tiap wahyu yang baru diturunkan, harus ditempatkan di tempat yang ditunjukkan Tuhan diantara wahyu yang diturunkan lebih dulu, sehingga tersusun sebagaimana sekarang yang diberi  nama  Al-Qur’an. Setelah Nabi wafat, dan tidak akan diutus Nabi baru dengan wahyu baru, maka umat pasca-Nabi harus melanjutkan mengelola kehidupannya mengikuti wahyu yang ada yang telah dituliskan dan disusun  yang disebut Al-Qur’an. 
Jadi ada 2 hal yang dihadapi umat pasca-Nabi :
  1. Tidak lagi ada hubungan langsung antara LANGIT-BUMI, yang di-ungkapkan dengan Diutusnya Rosul baru
  2. Tidak ada lagi wahyu baru sesudah tersusunnya Al-Qur’an.
Dari kedua hal tersebut dapat disimpulkan, bahwa umat-pasca-Nabi dianggap Tuhan mampu mengelola kehidupan ini menurut POLA  ILAHIYAH yang telah dimulai Nabi dengan bimbingan wahyu yang sama dengan yang ditinggalkanya setelah beliau wafat. Ini berarti bahwa perubahan tertib susunan wahyu dari nuzulnya, menunjuk pada perubahan pendekatan, dari ‘keadaan terbimbing’ menjadi tanpa bimbingan’ untuk melanjutkan tugas yang sama, menciptakan suatu kehidupan/peradaban yang disimbulkan sebagai baldatun toyyibatun wa Robbul ghofur !
Kalau pendekatan dengan-bimbingan kita sebut pendekatan - terpimpin/edukatif maka pendekatan tanpa-bimbingan dapat kita sebut dengan zelfstudie/belajar mandiri menuju umat yang autodidact/ mandiri. Di-istilahkan dengan terminologi dunia pendidikan dapat disebut dengan kata pendekatan materiil/teoritis.
Selanjutnya PESAN yang dikemas dalam suatu tulisan/naskah itu, kecuali diwarnai oleh tertib susunan kalimat-kalimatnya, juga diwarnai oleh gaya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa ini dimaterialisasikan dalam kalimat/phrase/ayat yang merupakan unit struktural terkecil dari suatu bagian/bab/surah-nya. Ungkapan gaya bahasa ini tidak menunjuk pada ‘kandungan’, tetapi pada ‘pendekatan’, katakanlah untuk membedakan dari pendekatan pemahaman kandungan ( yang disebut pendekatan makro), disini kita sebut pendekatan mikro.
Jadi Al-Qur’an memiliki pendekatan mikro dan makro. Pendekatan makro, yang juga disebut pendekatan materiil digunakan untuk cara kita mempelajari kandungan Al-Qur’an, sedangkan untuk mempelajari kandungan surah-surahnya, kita harus menambah dengan pendekatan mikro, atau pendekatan filologik atau sebut saja pendekatan bahasawi. Inilah hubungan antara pendekatan surah dan ayat-ayat yang membentuknya.
Serupa dengn cara pendekatan di atas ialah bila kita mendekati ayat dan unit struktural terkecilnya ialah kosa kata-nya. Oleh karena itu kita sama sekali tidak boleh mencari makna kosa-kata Al-Qur’an dari luar Al-Qur’an. Tiap kosa kata Al-Qur’an mempunyai denotasi & konotasi khusus Qur’ani.
Inilah MAKNA dari FAKTA yang berupa perubahan tertib susunan nuzul ayat dan surah, yang sayang sekali belum mendapatkan perhatian yang memadai dari umat Islam pasca Nabi, sehingga kita mendapatkan kesulitan dalam menciptakan metoda tafsir yang memadai. Bagi mereka yang membaca analisa diatas, mungkin masih ada yang mengganjal dalam benaknya, ialah apakah satu naskah yang didekati dengan 2 pendekatan yang berbeda tidak merubah hasil yang dicapai ?. Mari kita coba melihatnya lebih lanjut.  
Yang dimaksud dengan PENDEKATAN disini ialah cara untuk memahami wahyu, sehingga mampu mulai dari mengerti, memahami sampai melaksanakan pesan yang dikandungnya. Pada zaman Nabi, Nabilah yang merupakan referensi tunggal untuk memahami wahyu, sekaligus melaksanakannya. Kedua, turunnya wahyu itu berangsur-angsur, sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk menangkap reason d’etre-nya, kecuali Nabi yang langsung dibimbing Tuhan. Tiap waktu Nabi menerima wahyu, dia langsung memahami makna yang terkandung didalamnya dan langsung mampu menjabarkan dalam sikap dan perilaku, meskipun Al-Qur’an belum lengkap.
Keadaan ini dapat dilukiskan demikian: dilihat dari cara penerimaan wahyu oleh Nabi, Nabi sekaligus mampu menguasai ke 3 dimensinya, ialah dimensi penguasaan konsep/atau dimensi kognitif , kedua demensi affektif  dan ketiga demensi psychomotor SEKALIGUS dapat diperoleh atau dengan kata lain teori dan pelaksanaannya sekaligus dapat diamalkan atau dengan lain kata : aspect weltanschauung, aspek Ilmu dan aspek teknologi sekaligus dapat dikuasai atau dengan terminologi Al-Qur’an: akidah dan syare’at ubudiyah serta muamalah, atau ilmu, iman  dan amal dapat sekaligus dikuasai.
Masa Nabi telah lalu, tinggallah kenangan yang dirindukan....namun itu telah hilang dan tidak mungkin kembali atau dikembalikan. Pada zaman pasca -Nabi, bimbingan Nabi diwakili oleh apa yang telah diwariskan yang berupa HADITS. tetapi WARISANNYA telah berubah menjadi konsep juga. seperti wahyu yang harus diusahakan aplikasinya. Baik sunnah Nabi maupun Al-Qur’an hanya berupa materi yang mengandung- baik konsep-konsep elementer maupun konsep konsep yang majmuk.
Untuk meng-aplikasikan setiap konsep, maka :
Pengertiannya harus dipahami dahulu, kemudian menemukan cara pelaksanaan nya, baru di-laksanakan, atau dengan kata lain dimensi kognitif harus dikuasai dahulu, di-ikuti penghayatan dimensi affektifnya, baru dapat dikembangkan  dimensi psychomotornya. Atau dengan kata lain : penguasaan weltanschauung/ atau akidah disusul dengan penguasaan ilmunya/ syare’atnya, baru menciptakan alat atau tehnologinya atau sistemnya. Jadi untuk menjadi muslim prosesnya lebih panjang daripada pada zaman Nabi. Pertama harus dikuasai materi wahyu, baru menciptakan ilmunya [karos] diikuti dengan penjabarannya dalam ujud teknologi atau sistem engineering. Memahami ilmu secara demikianlah yang dimaksud dengan pendekatan materiil. Jadi dengan perubahan pendekatan kandungan dengan tujuan wahyu tidak berubah !
Yang menjadi penyebab utama adanya perubahan tertib susunan, ialah tidak diutusnya Rasul dan tidak diturunkannya wahyu lagi !
Perubahan tertib susunan wahyu merupakan tuntunan Tuhan yang dapat menggantikan bimbingan seorang Rasul.
MENGAPA  TIDAK  KITA  TANGGAPI  DENGAN SEMESTINYA ???
 
BY  A BAGHOWI BACHAR