Translate

Telusuri via Blog Ini

Senin, 20 September 2010

IV. PENALARAN QUR’ANI.

Iradat/kehendak bebas merupakan rahmat Tuhan yang hanya diberikan pada manusia. Modus operandinya melalui akal/penalaran. Maka pantas bila Al-Qur’an memberikan hudaa dan furqon untuk cara penggunaannya. Anehnya yang diberikan bukanlah cara/metoda/mekanisme/modus operandi-nya, tetapi hambatan, kendala, rintangan atau jebakan yang menghadang manusia dalam menggunaan akal.

Bahaya yang dihadapi akal ialah:
  • Paksaan/ikrah, baik melalui usaha usaha intimidasi, brainwashing atau indoktrinasi seperti yang tersebut dalam QS. 2:256. Bentuk yang lebih halus melalui jalan penjajahan budaya, ekonomi dan politik, dimana pemaksaan itu tidak disadari oleh yang dijajah.
  • Ikut-ikutan secara membabi buta/taklid . Bahaya ini didapat melalui peniruan, penjiplakan atau kelatahan seperti yang dinyatakan oleh QS.4:135 ; 38:26.
  • Perkiraan/prasangka/anggapan/dzan yang didorong oleh nafsu, seperti yang tersebut dalam QS.10:36 ; 49:12.
  • Pesona/sihr seperti terdapat pada QS.2:102
  • Angan angan/keinginan seperti pada QS. 22:52
  • Tunduk pada suatu kelembagaan rahbaniah/aliran/isme pada QS. 9:31.
Inilah sebabnya ‘lingkungan hidup Qur’ani’ harus diciptakan, karena lingkungan yang lain, seperti alam demokrasipun belum menjamin akan terwujudnya kemerdekaan berfikir.

Akhir abad XX M. ini, proses globalisasi budaya melanda dunia dimana tiap bangsa terperangkap tidak hanya dalam lingkup sosial ekonomi, politik dan budaya tetapi juga dalam weltanschauung, pandangan hidup dan nilai, tanpa disadari .... suatu penjajahan mental-spiritual yang mempengaruhi alam fikiran. Penjajahan ini dilakukan melalui informasi yang dipercayai sebagai ‘bebas nilai’, melalui iklan, berita berita, film, drama, dan Sains dengan meta-sainsnya serta ideologi yang mengandung doktrin-doktrin.

Dari pernyataan pernyataan Al-Qur’an tersebut diatas, Al-Qur’an yang diturunkan pada abad ke VII.M. telah mampu melihat kedepan untuk memperingatkan manusia terhadap bahaya yang besar dan merusak yang akan melanda kehidupan. Tidak hanya itu, bahkan mampu menunjukkan titik sentral/hakekat musuh manusia. Peradaban yang ada (Barat) telah mengangkat SETINGGI-TINGGINYA sampai memper-tuhan akal/ratio. Setelah Al-Qur’an memperingatkan manusia tentang bahaya penggunaan akal/kemampuan tertinggi manusia, selanjutnya Al-Qur’an memperingatkan tentang sumber pengetahuan/ilmu yang merupakan working’s materials untuk mengelola kehidupan ini.

Menurut Al-Qur’an sumber ilmu itu ada , disamping Alam , diri umat manusia, juga wahyu seperti yang disebut dalam QS. 38:29 dan 47:22. Kalau kita hanya mengambil sebagian dari sumber itu, tentu kita tidak dapat melihat realita seperti yang ada dan pandangan kita akan terperangkap dalam labyrinth struktur penalaran yang kita ciptakan sendiri seperti keadaan kita sekarang. Kita hanya menangkap sebagian dari realita, ialah realita yang tertangkap secara indrawi, realita yang fana, sedangkan realita ghoib, yang hanya mampu kita ketahui melalui informasi yang berasal dari Tuhan tidak dapat kita tangkap. (QS. 96:1-5) Selama informasi yang kita gunakan tidak lengkap, bagaimana kita mampu mengelola kehidupan dengan benar, bagaimanapun cara nalar kita, kita kembangkan. Karena bukan metoda penalaran saja yang akan membawa kita mendekati kebenaran tetapi juga kelengkapan sumber informasinya !

Kalau manusia dalam kehidupan ini tidak mengakui Al-Qur’an, sebaliknya Al-Qur’an mengakuii existensi manusia beserta akalnya sebagai bagian dari alam. Karena itu Al-Qur’an memadukan revelation/wahyu dan reason/nalar, wahyu dan akal, uchrowi dan duniawi, karos dan logos, sakral dan profan, transcendental dan sekular.

Atas dasar ini Al-Qur’an mengarahkan logikanya berdasarkan :
  • BADAHA/Self-Evident Truth , suatu pembuktian secara tautologik. Dalam segala ungkapannya tidak mungkin orang “ mampu mengingkari” kebenaran yang diajukan, atau argumentasi yang digunakan ( QS. 52:35,36; 21:22 dan 23:91 ). Dalam dunia ilmiah, logika inii terdapat pada tingkat matematik. Axioma yang digunakan ialah kandungan akidah/tauchid.
  • NAZAR/MULAHAZA/human observation/sense perception. ( QS. 80: 24-32 ;10:101).Dalam dunia ilmu sesuai dengan tingkatan ilmiah/scientific level of thought
  • TAJRIBA/human experience, termasuk pengalaman dan penghayatan. (lahiriah dan bathiniyah) 
Metoda -Qur’ani ternyata melebihi metoda-Yunani yang hanya bersifat spekulatif. Disamping itu Al-Qur’an tidak membutakan diri terhadap sifat dan kecenderungan manusia yang dapat mempengaruhi cara penalarannya melalui apa yang dikenal sebagai hidden assumptions yang memberi warna pada ilmu yang diciptakannya, yang merusak kehidupan.
Oleh karena itu Al-Qur’an menambahkan kriteria dalam penalarannya, ialah :
  • MASLAHA/kepentingan umum/human interest. ( QS.5:6 ; 29:45 ; 11:85-87 ).                      Cara ini dapat memadukan yang halal/benar dengan yang baik/berguna , dalam terminologi sosekpolbud dirumuskan sebagai formal = legal = benar = baik = berguna = menguntungkan untuk keseluruhan, yang pada waktu ini menjadi berantakan. Yang dimaksud dalam pengertian maslaha ialah meliputi pemeliharaan : hidup/jiwa manusia ; milik/property; keluarga/family life; akal ; semua yang dapat merusak ini dicegah/dilarang/diharamkan.
Selanjutnya Al-Qur’an mengakui existensi nurani/human conscience yang diabaikan oleh dunia ilmiah manusia. Nurani ada diluar akal. Aktivitas nurani dapat dikatakan penalaran bathiniyah, yang perwujudan paling luarnya berupa intuisi dan paling dalam ialah hati/qolb/nurani [S.Q.?] Kalau manusia menggunakan seluruh potensi-nya dalam bernalar dan berperilaku, maka akan terpadu otak dan hati, akal dan nurani, ilmu dan akhlak, hukum dan moral ......... inilah gambaran manusia seutuhnya yang ingin dicapai Al-Qur’an.

Penalaran bathiniyah bukan penalaran abstrak/spekulatif/utopis, tetapi suatu penalaran untuk mendapatkan suatu insight dan makna sesuatu. Pengetahuan maknawi ialah pengetahuan yang mengandung nilai yang akan mewarnai pribadi seseorang. Penalaran semacam ini dinyatakan oleh QS. 17:14 ; 75:14,15 ; 81:8 ,9 ; 49:12 .
Melalui cara penalaran demikian manusia merupakan sosok yang utuh, bulat, suatu gestalt, suatu totalitas, bukan suatu yang terdiri dari bagian bagiannya : akal, indera, hati, nurani, interest, kecenderungan dan imaginasinya dst [aidah] Inilah wajah penalaran Qur’ani yang jauh berbeda dengan penalaran insani.

Akal itu menurut Al-Qur’an sifatnya terbatas. (QS. 27:65 ; 17:85)

Mengapa perintah menalar ditujukan pada seluruh pribadi manusia ? Karena Tuhan menghendaki manusia tidak berhenti pada menalar [mengerti dan memahami ] tetapi harus melanjutkan sampai meyakini dan menjiwai yang melahirkan aktivitas/tindakan/amaliah/perilaku/pelaksanaan. Keperiadaan sesuatu itu tidak mempunyai makna bila berdiri sendiri. Sesuatu akan bermakna bila ia dihubungkan dengan yang lain. Terjadilah inter-relasi sampai inter-dependensi dan ini lahir karena adanya perbedaan. Perbedaanlah yang memberi arti tiap sesuatu, karena melahirkan alternatif. Adanya alternatif berarti ada pilihan yang selanjutnya melahirkan kreativitas yang diexpresikan dalam suatu keinginan sampai kehendak. Kehendak inilah yang kemudian menciptakan tindakan. Inilah sebabnya bahasa Al-Qur’an disebut bahasa maknawi dan penalarannya disebut penalaran maknawi/kreatif atau produktif. 

Tidak ada seorangpun yang menginginkan bahwa penalarannya tidak memberikan apa-apa pada dirinya. Apa beda makna yang diperoleh manusia bila dia menggunakan penalaran Qur’ani dan penalaran ilmiah yang menguasai dunia sekarang ? Dengan penalaran ilmiah manusia melihat kehidupan itu terkotak-kotak [reduksionistis ], sehingga tiap disciplin ilmu menjadi mandiri. Hasilnya memang tidak memuaskan manusia, sehingga manusia mencoba memandang kehidupan secara lebih komprehensif atau hermenuetik, melalui upaya pendekatan inter-, trans- atau multidisipliner. Namun dengan cara demikian tujuan melihat kehidupan secara in toto tidak akan berhasil, karena nilai keseluruhan itu lebih dari jumlah nilai tiap bagiannya.

Pandangan mengkotak-kotakkan kehidupan menjadikan kehidupan “tidak-bermakna”,sehingga manusia berusaha untuk mendapatkan “maknanya “ kembali dengan menghubungkannya langsung dengan diri-nya, keinginannya atau dengan kepentingan kelompok, golongan , bangsa, ideologi dst. Dengan demikian makna ini menjadi bersifat ego- atau golongan- atau interest- centris yang mengambil sifat subjektif. Pengertian makna yang seharusnya terikat pada kehidupan itu sendiri, yang berarti untuk kita semua berubah menjadi untuk aku, kelompok-ku, golongan-ku, bangsa-ku dst. Arti kata makna berubah menjadi guna, sehingga bersifat pragmatis. Bahkan manusia melanjutkan sikap pragmatis ini dari kepentingan manusiawinya ke kepentingan alat yang dia ciptakan, misalnya Ilmu. Lahirlah adagium ilmu-untuk- ilmu bukan lagi ilmu untuk manusia. Apapun akibatnya, manusia tidak lagi peduli !

Al-Qur’an menghubungkan segala sesuatunya dengan tujuan penciptaan, tujuan taklif Kholik pada manusia. Hubungan ini tidak bersifat individuil, kelompok, golongan, bukan pula bersifat sektoral, tetapi universal, global yang disebutnya objektif, jadi bersifat realistis tanpa pragmatis. Dengan demikian maslaha tercapai. Inilah PENALARAN QUR’ANI yang menopang tujuan diturunkannya AD-DIEN. Penalaran Qur’ani akan menyatukan manusia tanpa memperdulikan warna kulit, keyakinannya, status sosialnya dst. Informasi bukan lagi merupakan kekuatan dan kekuasaan, tetapi akan menjadi rahmat.

Pada abad ke XXI M. ini ilmu Informatika telah berkembang dengan cepat, namun apakah ilmu serta implementasinya menjadikan ilmu itu sebagai rahmat ? Alat untuk memudahkan hubungan antar manusia menjamur, sehingga jumlah aliran informasi yang berupa gelombang electromagnetik memenuhi atmosfer kita, sedangkan ilmu kita belum sampai menjangkau apa akibatnya. Bahkan memudahkan ilmu itu untuk menjadi ALAT PENJAJAHAN PERADABAN BARU. Lahirlah DADJJAL baru !!

Mengapa manusia selalu saja mengabaikan AJARAN TUHAN-nya ??

by A.Baghowi Bachar

Tidak ada komentar: