Translate

Telusuri via Blog Ini

Senin, 12 Desember 2016

Menjadikan Maulid Nabi, sebagai Refleksi Cinta Rosul

“Hari  senen 12  Desember 2016  libur,  tanggal merah”,   begitu   kata sahabat.  Memangnya  libur apa ?, penasaran kataku. “ Hari Maulid  nabi – 12 rabi'ul- awwal 1438 H...”.  “ Masya Allah “ dalam hatiku,  karena yang ku ingat hanya hari lahir (maulid) anakku dan istriku di bulan Desember.  Aku selalu  merayakan secara sederhana , sebagai rasa syukur , sekeluarga  dengan  makan bersama atau potong kue ulang tahun  yang dipesan di toko kue dan itu  sudah menjadi tradisi keluarga untuk  menguatkan kebersamaan, kasih sayang, mengingatkan tentang sejarah “hidup” sebagai makhluk di dunia.

Menjadi  tradisiku setiap Maulid  Nabi Muhammad SAW, sebagai  hari perayaan “ refleksi diri” bagaimana  sejarah Nabi atau kehidupan Nabi dahulu, bagaimana direfleksikan dalam kehidupan saat ini dan apa yang telah  diamalkan,  seperti telah Beliau contohkan dan harus  menjadi tauladan terbaik / uswatun hasanah bagi setiap muslim / umat muhammad.

Sekilas sejarah, walaupun hari tanggalnya masih berbeda  pendapat, pastinya, hal ini tidak penting  bagiku, apakah tanggal  9  atau 12 rabbiul’awal. Dalam sejarah  mencatat “katanya” sepakat hari senen, tahun gajah, 571 Masehi; sampai sekarang periwayat/sejarahwan islam berbeda pendapat tentang  tanggal bulan maulid.

Para sarjana sejarahwan Islam berbeda pendapat tentang sejarah yang sebenarnya, kelahiran Nabi saw. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim hanya menyebut bahwa Nabi Muhammad  SAW lahir pada hari senen tanpa menyebut tanggal bulannya. Dalam buku karya besar sejarah Islam, seperti al-Bidayah wa al-Nihayah oleh al-Imam Ibn Kathir (meninggal 774H) disebutkan  berbagai pendapat tentang hari dan tanggal bulan kelahiran/ maulid  Nabi Muhammad saw.

Apa pun yang penting, sejarahwan Timur atau Barat, Utara atau Selatan tidak pernah berbeda pendapat tentang lahirnya seorang insan bernama Muhammad bin Abdillah yang diikrarkan oleh umat Islam sebagai rasul terakhir yang diutuskan Allah.

Ketidak pastian  atau Kegagalan Ahli sejarahwan untuk mengetahui tanggal bulan Maulid Nabi saw. dikarenakan  antara lain,  para sahabat Nabi saw saat itu, tidak merayakannya. Walaupun dalam sejarah Islam, merekalah generasi yang paling mencintai Nabi saw.  namun mereka tidak membuat perayaan khusus hari maulid Nabi saw disebabkan karena mereka tidak melihat Baginda Rosul melakukan hal yang demikian.

Dalam Fatwa al-Azhar,  diakui bahwa ahli sejarahwan Islam tidak mengetahui , siapa  yang memulai perayaan Maulid Nabi saw, kecuali  zaman dinasti  Fatimiyyah di Mesir yang mengadakannya secara besar-besaran.

Kita semua bersyukur dan bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad saw.  Allah SWT  telah mengabadikan dalam nama surah dalam Al Qur’an; “Muhammad”. Suatu  yang sangat istimewa selain  nama  nama surah lain  dari  para nabi dan rosul Allah, seperti Ibrahim, Yunus,Yusuf, Ali Imran, Maryam, Luqman.

Makna  diturunkan   “wahyu Allah” adalah  dilahirkannya para nabi dan rasul Allah kepada umatnya. Umat  Muhammad  adalah umat manusia dan sekalian alam, yang mendapatkan  tuntunan wahyu ilahi yang terakhir melalui  nabi dan rosul bernama  Muhammad saw. Karena  itu merayakan lahirnya/ maulidnya adalah wujud  rasa syukur dengan refleksi diri umatnya, terhadap tuntunan-petunjuk Allah melalui  kitab  Al Qur’an dan contoh contoh sunnah nabi-rosul, agar selalu  diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari hari,    sampai akhir zaman.

Kita wajib mengetahui dan memaham  tentang sejarah Nabi-Rosullah,Muhammad saw. Setiap tahun kita merayakan maulid, apakah umat Islam bertambah  makin  mentauladani dan berperilaku seperti Beliau, atau sesuai  tuntunan  Al Qur’an dan Sunnah Rosul ?.

Marilah kita  kembali dan kembali  mengulang selalu merefleksikan diri  dengan  memahami dan mengamalkan –kajian ke-islaman kita  dengan belajar setiap waktu.   marilah kita   merefleksikan diri  di hari maulid Nabi, untuk membuka lembaran Qur’an, yaitu surah Muhammad (47),  dalam kajian menggunakan metoda tafsir Sistematika Al Qur’an berikut  ini(kajian dalam Blog  ini): 

QUR’AN SURAH   47 :  MUHAMMAD; AL- QITAL

TOPIK SENTRAL SURAH :
Nama judul surah terdapat pada ayat 2, dari topik pertama surah ( 1 s/d 19 ), yang menerangkan adanya 2 golongan manusia :
  •  Yang kafir dan menghalang-halangi manusia berjalan dijalan Allah
  •  Yang beriman, yang beramal shaleh dan yakin akan kebenaran Al-Qur’an yang diturunkan pada Muhammad,

Amalan golongan pertama akan dihapus oleh Tuhan dan amalan golongan kedua pasti akan diterima-Nya. Nama judul kedua terdapat pada banyak ayat ayat topik kedua ( 20 s/d 38), yang menggolongkan manusia atas dasar perintah perang, menjadi 3 golongan :
  •  Yang patuh mengikuti perintah (21)
  •  Yang  ingkar ( 20) dan murtad ( 25)
  • Yang munafik ( 29-30)

Amalan bagi golongan kedua dan ketiga akan hapus amalannya, hanya yang pertama yang diterima.

TEMA  SURAH :
Berdasarkan nama judul yang pertama, Tuhan menggunakan keyakinan akan kebenaran Al-Qur’an yang diturunkan pada MUHAMMAD sebagai kriteria penggolongan manusia, sedangkan berdasarkan nama judul surah yang kedua, perintah peranglah yang menjadi kriteria-nya. Jadi disini disejajarkan antara keyakinan akan kebenaran wahyu dan perintah perang, untuk memenangkan ajaran Tuhan terhadap ajaran manusia.

SUDUT PANDANG SURAH :

Kesejajaran akan PENGETAHUAN dan TINDAKAN, antara TEORI dan PRAKTEK, antara KEYAKINAN dan PERILAKU, antara ILMU dan AMAL, antara UCAPAN dan TINDAKAN merupakan KRITERIA KE-IMAN-AN. Konsekwensi dan Konsistensi, taqwa dan tawakal disini baru mempunyai arti.

Minggu, 11 Desember 2016

Mengapa Perlu Metoda Tafsir Al Quran?..(2)



Akhirnya apakah ‘ metoda tafsir’ yang dapat digunakan pada abad ini sebagai landasan ijma‘ tidak perlu dicari, karena yang ada pada saat ini hanyalah persyaratan mufassirnya saja ?. Apakah metoda yang ada yang telah dianggap baku, terutama di negara kita ini telah mencukupi ?. Kalau iya, mengapa ijma’ tidak pernah mencapai tujuannya untuk menyatukan pendapat umat ?. Mengapa para ulama kita selalu saja berbeda pendapat tanpa ada usaha maksimal untuk saling mendekati dan mengapa banyak terjadi percekcokan, bahkan permusuhan ?. Mengapa falsafah hidup Qur’an , yang notabene datang dari Sang Pencipta , tidak dapat mengimbangi falsafah hidup dunia(materialisme-liberalisme) yang ada ?.  Mengapa banyak tulisan tulisan yang mengkritik, bahkan banyak pula yang menghujat kitab kitab tafsir, bahkan Al Qur’an yang tidak rasional ?. 

Sekian banyak pertanyaan yang menghujam benak penulis, yang membuat sangat prihatin menghadapi masa depan kehidupan manusia. Sangat tegas dan jelas, bahwa Allah , Pencipta dan Penguasa kehidupan telah menurunkan Wahyu terakhir-Nya, untuk memerintahkan pada seluruh manusia, makhluk-Nya yang telah menirima penugasan untuk mewujudkan kehidupan duniawinya sebagai Peradaban Ilahiyah berdasarkan Al Qur’an.

Namun apa yang terjadi ?, Justru Peradaban Jahiliyah (peradaban sekuler, materialisme-liberalisme ) yang sekarang menguasai kehidupan duniawi manusia. Inilah alasan utama penulis memberanikan diri untuk menuliskan tulisan ini, karena hanya Kitab Wahyu Al Qur’an yang diturunkan untuk seluruh kaum, bangsa manusia.

Mudah mudahan Allah mengampuni penulis , bila tulisan ini justru melahirkan hal hal yang lebih buruk dari sebelumnya dan kalau sekiranya tulisan ada gunanya meskipun sebutir zarrah, mudah mudahan Allah membukakan mata hati kita semua untuk melanjutkan upaya meningkatkan derajad kekaaffahan umat manusia , terutama umat Muhammad, sehingga mampu melaksanakan perintah-Nya yang berbunyi: “liyudz-hira-hu ala ad-dieni kullihi”.

Upaya untuk ini jelas diperlukan perubahan cakrawala beragama, yang dimulai dengan mencoba melihat wajah Al Qur’an dari sekedar sekumpulan 6.236 ayat yang terbagi dalam 114 surah menjadi suatu diskursus lengkap (text book) yang mengandung kehendak Ilahi. Bagaimana manusia seharusnya menata hidup duniawinya. Apakah Al Qur’an dapat difahami melalui pendekatan “ Ilmiah” seperti ilmu ilmu lain, yang mampu melahirkan peradaban pada waktu ini ?. Pandangan ini akan melahirkan perubahan ‘ metoda ilmu tafsir’ yang melahirkan pandangan hidup / weltanschauung theokratik yang mampu menandingi ideologi demkrasi ?.

Diharapkan bawah penemuan Sistematika Al Qur’an akan melahirkan suatu tafsir alternatif yang berupa Tafsir Perspektif ( al-syuri) atau Tafsir Sistematik. Artinya kita akan mampu menggunakan Al Quran untuk menciptakan sistem peradaban Ilahiyah di muka bumi seperti tugas yang diembankan pada umat manusia melalui umat Muhammad ?!

Tafsir ini diharapkan akan dapat melampaui batasan tafsir dari ayat ke ayat, dari surah ke surah yang terkesan fragmentaris dan berulang-ulang, ipso facto ( kenyataan yang ada) selalu bersifat problematis. Sistematika ini harus mampu membangun tafsir tematik dan sistematik sedemikian rupa, sehingga mampu melahirkan konsep universal tentang kehidupan Islami ( dunia, manusia dan sistem ideologi-sosial –ekonomi-politik- budayanya).

Ini berarti bahwa tafsir harus mampu mencakup kemajuan iptek dalam arti bahwa agama islam itu dapat diterima oleh dunia manusia. Dengan demikan akan terasa adanya tali penghubung antara langit dan bumi sebagai disebut dalam QS, Azzukruf (43): 84.

” wa huwalladzii fissamaa’ ilahu wa fil ardhi ilahu wa huwal hakiimul a’lim “
Dan Dia-lah Tuhan (yang disembah) dilangit dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah yang Maha bijaksana lagi Maha mengetahui

Jadi melalui metoda tafsir ini diharapkan lahirnya dimensi revolusioner dari khazanah intelektual lama, yang terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan:
  1. Ilmu-ilmu Normatif Rasional (al-ulum al naqliyah al aqliyah), seperti ilmu Usul Al Dien, Usul al Fiqh, ilmu Tasawuf dan seterusnya, sehingga lahir “ falsafah hidup Qur’ani” atau Karos.
  2. Ilmu-ilmu Rasional Semata ( apa yang disebut ilmu kauniyah/logos/ falsafah ilmu sekarang, yang mampu menglah kehidupan ini dari segi fisik (materi) hingga sosial budaya, yang akan melahirkan tehnologi dan sistem perekayasaan kehidupan sosial budaya dalam kerangka Qur’ani dan melahirkan iptek yang lahir dari imtaq.
  3. Ilmu-ilmu Normatif Tradisional ( al naqliyah), seperti ilmu Al Qur’an, hadist, sirah Nabi dan tafsir yang dapat digunakan tiap manusia sebagai penunjang (Jurisprudensi) dalam upayanya memahami wahyu secara mandiri, disamping lahirnya ilmu agama yang hidup, mampu mencakup perubahan perubahan yang dihasilkan oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan sampai falsafah hidup modern dan menjabarkannya dalam kehidupan sehari-harinya. 
Pada saat ini Ilmu tafsir yang dominan hanya yang tradisional, yang ternyata belum mampu menempatkan tingkat ilmiahnya sejajar dengan Sains-Meta, Sains-Falsafah, Hidup-Ideologi, yang melahirkan sistem –sistem kehidupan yang membangun peradaban sekuler yang menguasai kehidupan.

Hasil umat islam tidak lagi merupakan Umatan wasathan dan menjadi umat pinggiran dalam kehidupan ini. Perkembangan ilmu cepat sekali maju mulai Abad XIX yang diupayakan bukan oleh umat islam, sehingga baik yang berupa ranah materi, maupun ranah pemikirannya belum mampu menjamah kehidupan umat. Bahkan sikap umat pada umumnya malah menjauhinya atau membebeknya

Penafsiran Al Qur’an seharusnya mampu melahirkan ilmu agama atau karos yang mampu menghasilkan ranah sistem perekayasaan kehidupan dan ranah penalaran seperti fungsi sains pada waktu ini.

INSHAA ALLAH !

Referensi :
Dari  Pengantar buku:  SISTEMATIKA AL QURAN, Mengungkap Pesan Ilahi  didalam  Susunan Kitab Suci  - by Ahmad Baghowi Bachar.

Mengapa Perlu Metoda Tafsir Al Quran ? (1)

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghapuskan hyme pemujaan metoda tafsir yang sudah diterima tanpa protes dan kritik (' taken for granted') oleh sebagian besar umat. Sesungguhnya telah banyak Ulama besar yang ada diluar tanah air, mulai 2-3 abad yang lalu, yang telah memulai dengan mencari suatu metoda tafsir alternatif, meskipun mereka belum menyatakannya dalam bahasa yang gamblang, terang dan tegas dan langsung sebagai suatu metoda tafsir. Penulis sangat memprihatinkan keadaan umat pada waktu ini yang kelihatannya makin lemah, karena ukhwah diniyah makin menipis dan banyak organisasi, partai , bahkan negara negara islam , yang telah menerima peradaban sekuler. Islamnya yang tampak, hanya seremonial 'ubudiyah nya. Seremoni pemujaan , seperti agama agama yang lain, kebanyakan umat malah memuja dan mengikuti ideologi sekuler, sehingga saat ini peradaban sekulerlah yang menguasai dunia. 

Sebaliknya mereka yang tidak mau tunduk pada negara atau pemerintahan yang sekuler, mengambil sikap ekstrim dan dikenal sebagai kaum ekstremis, yang saya kira tidak pernah diajarkan Nabi dan ajaran Islam. 

Apakah ini disebabkan karena penafsirannya tentang ajaran Islam melalui Al Qur'an, dengan ilmu tafsir tradisional yang ada, tidak lagi mumpuni untuk melawan globalisasi peradaban sekuler ?. 

Penulis juga tidak mempunyai pretensi, bahwa penulis berani mensejajarkan diri dengan para ulama, para mujahid itu. Tulisan ini lahir dari suatu dorongan keinginan untuk memahami Al Qur'an bagi seorang awam, pendatang baru dalam mencari apa makna beragama menurut Al Qur'an, sebagai satu satunya buku standar bagi seorang muslim. Karena melalui jalan tradisional yang ada, penulis belum mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang selalu menggoda benak. 

Apa yang penulis dapatkan dari cara yang selama ini diperoleh, tidak dapat memberikan kemantapan pemahaman dalam keinginan untuk memahami ajaran agama melalui Al Qur'an. Semua pertanyaan yang diajukan pada para ulama yang dianggap mampu menjawab, penulis belum mendapatkan jawabannya yang dapat penulis gunakan sebagai cara untuk memahami Al Qur'an secara mandiri, karena dalam Islam tidak ada lembaga kependetaan dan taklid diharamkan. 

Jawabannya belum dapat menjawab secara memuaskan penulis, karena semuanya hanya berwujud “barang jadi” yang harus diterima, jauh dari suatu metodologi yang dapat memberi kemampuan untuk dapat mandiri, bebas dari taklid. Karena penulis yakin akan ungkapan Al Qur'an sendiri, bahwa Al Qur'an diturunkan untuk semua manusia, sehingga tiap manusia wajib, harus dan pasti mampu memhami Al Qur'an sendiri, tentu saja sesuai dengan kemampuannya, pasti ada sesuatu metoda sebagai acara untuk mempelajari sendiri, serupa dengan mempelajari ilmu dari naskah tulis ilmiah (text book). 

Apa yang sangat memperihatikan penulis, umat Muhammad tidak akan punah, tetapi akan mengalami kepunahan keislamannya (mindset -imtaqnya), mengalami proses “ fading away “, seperti yang diungkapkan nabi waktu dipanggil kembali Tuhan dengan keluhannya “Ummatii, ummatii...!” 

Permasalah yang menggoda penulis ialah: 

1. Apakah benar Al Qur’an, hanya sebagai kumpulan / kolongmerasi dari 6.236 ayat, seperti yang lazim digambarkan oleh ‘Uummul Qur’an

2. Apakah maknah surah ? Apakah hanya suatu petunjuk tempat ayat ? Nama surah bahkan dapat diganti dengan normor urut saja. Sedangkan nama judul surah itu terasa aneh dan sulit dipahami untuk menebak pokok isi kandungan surahnya/ tema surahnya 

3. Apakah ‘unit fungsional terkecil ‘ Al Qur’an sebagai “ hudaa dan furqan” ? dan apa ‘unit struktural terkecilnya ‘

4. Apakah makna nama judul judul surah

5. Mengapa tertib susunan ayat dan surah wahyu diubah dari tertib susunan nuzul nya menjadi tertib susunan surah dan ayat Al Qur’an ? 

6. Apakah pokok kandungan Al Qur’an ?, Kandungan surah ?, Kandungan ayat 

7. Mengapa kalau dibaca secara selintas isinya terasa tidak runtut?,  Bagaimana cara Al Qur’an mengemas pesannya ? 

8. Mengapa diperlukan ilmu tafsir ?,Apakah tidak cukup dengan alih bahasa saja ? 

9. Apakah itu benar bahasa yang digunakan Al Qur’an itu bahasa ethnis Arab.? 

10. Kalau Al Qur’an mengklaim dirinya berlaku bagi setiap manusia tanpa mengingat budaya dan tingkat pendidikannya/ penalarannya, bagaimana rumusan bahasanya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang dikandungnya 

11. Kalau Al Qur’an mengklaim dirinya berlaku sepanjang masa, apakah semua masalah dan permasalahan hidup di masa mendatang itu dapat diantipasi, di prediksi atau dicakup atau dikooptasi oleh Al Qur’an , bagaimana cara mengatasinya ?

Inilah pertanyaan pertanyaan yang penulis belum mendapatkan jawabannya dengan tuntas




(by A Baghowi B.   bersambung....)