Translate

Telusuri via Blog Ini

Kamis, 23 September 2010

VII. REALITA MENURUT AL-QUR’AN.

Dilihat dari sudut manusia oleh manusia, dapatlah dikatakan bahwa manusia secara mandiri mampu mempertahankan hidupnya dimuka bumi tanpa bantuan siapapun. Manusialah yang menguasai bumi; hitam kata manusia, hitam pula wajah kehidupan. Putih kata manusia, putih pula wajah kehidupan. Kemampuan survive manusia ini didasarkan pada kemampuan akalnya yang membuahkan pandangan hidup, yang selanjutnya melahirkan falsafah dan ilmu serta tehnologi yang sanggup menguasai isi kehidupan ini.

Menurut pendapat manusia, ini dikarenakan manusia mampu menemukan hakekat realita, menangkap kebenaran hakiki dari segalanya tanpa bantuan dari luar dirinya. Bahkan manusia merasa mampu memberi makna kehidupan duniawi ini melalui ilmu yang ia ciptakan. Meskipun masih banyak manusia yang mengakui adanya sesuatu kekuatan diluar dirinya, ada Realita tertinggi, namun sifatnya masih dianggap intra-cosmos, dan impersonal yang meliputi yang natural, maupun supranatural.

Manusia itu masih anak kosmos, maka manusiapun diliputi sifat supra-natural juga. Unsur inilah yang merupakan kekuatan manusiawinya,yang mampu melepaskan dirinya dari cengkeraman unsur naturalnya sehingga dia selalu dan akan selalu mampu survive dalam kancah kehidupan ini. Melalui kekuatan pandangannya terhadap alam nyata yang didasarkan pada pengamatan fenomenologik, manusia menyimpulkan pendapatnya :
Alam ini terjadi dengan sendirinya dan berkembang dengan sendirinya, mengikuti suatu hukum yang dapat dibaca oleh manusia dan difahaminya; yang kemudian disebut sebagai hukum alam. Darimana asalnya tidak menjadi masalah. Keperiadaan manusia sendiri juga demikian.
Hanya melalui penguasaan hukum ini manusia mampu survive sebagai anak kosmos. Makin jauh manusia mampu melepaskan diri dari ikatan hukum alam ini, makin besar kesempatannya untuk survive. Akhirnya manusia mampu menguasai hukum itu, sehingga terjamin untuk tidak hanya survive, tetapi sekaligus menaklukkannya. Kerusakan yang ditimbulkan dalam penaklukan alam ini tidak dianggap sebagai suatu kegagalan, tetapi suatu dampak sampingan yang dilahirkan oleh suatu kebetulan. Benarkah demikian ?

Semua ini terjadi karena manusia hanya mengamati segala sesuatu yang menampakkan diri, baik langsung maupun tidak langsung, dalam arti penampakan diri itu hanya melalui jejaknya atau akibat yang ditimbulkannya. Meskipun manusia mampu mempertajam dan meluaskan pengamatannya melalui penemuan tehnologi, namun bila alam tidak menampakkan dirinya, manusia, bagaimanapun canggihnya tidak akan mampu mengamatinya.

Pengamatan manusia tidak mungkin melampaui batasan ruang-waktu, meskipun akalnya mampu melampauinya. Disamping itu segala sesuatu disamping exist/ada , juga mengandung makna. Mampukah manusia menangkap makna sesuatu yang sebenarnya ?. Makna yang tetap ada diluar diri manusia ?. Bukan makna yang dihubungkan dengan kepentingan/interest manusia !. Mampukah manusia mengamati fenomena itu secara lengkap ?. Sebab tiap fenomena itu tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam kerangka fenomena yang lebih luas.
Mungkin manusia mampu melacak fenomena yang terjadi sebelumnya, meskipun tidak mungkin tuntas sampai final cause, tetapi mampukah manusia mendeteksi fenomena yang akan muncul ?. Mungkin hanya mampu mengira dengan memperhitungkan fenomena yang sudah terjadi dan yang kini diamatinya. Suatu perhitungan yang masih banyak pengandaian. Apakah dengan cara ini manusia mampu melihat realita yang sebenarnya ataukah dia hanya melihat CITRA manusia tentang realita ?. Mampukah manusia suatu saat mampu melihat hakekat realita yang sebenarnya ?

Bagaimana Pandangan Al-Qur’an Tentang Realita ?

Al-Qur’an menyatakan bahwa realita ini diciptakan oleh Allah ( QS.7:51 ; 16:40 ) dan diciptakan tidak- tanpa- tujuan. ( QS.3:191 ; 15:85 ; 21:16,17 ; 38:27 ; 39:5 ; 44:38,39 ; 46:3 ; 64:3 ). Dan diciptakan untuk kepentingan manusia ( QS 14:32,34 ; 16:10,14 ;).
Dan realita/alam ini merupakan kitab Tuhan yang juga harus dibaca oleh manusia karena banyak pelajaran yang dapat diambil daripadanya (QS. 16: 65-68), diantaranya merupakan bukti adanya Sang Pencipta (QS. 2:164; 3:25,190; 16:13; 25:45-46; 29:44; 30:46,50; 36:37-41; 67:3) dan bukti kekuasaan Tuhan (QS. 15:16 ; 16:3, 4, 5, 8, 10, 11, 12) dan dipelihara oleh Tuhan/‘amr yang diexpresikan dalam hukum alam. (QS.41:11 ; 55:5,7 ;67:3,5) dan semua bertasbih/tunduk patuh pada Tuhan.( QS. 57:1 ; 59:1 ; 64:1).

Dari pernyataan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pandangan Al-Qur’an terhadap alam/ realita itu lengkap mulai dari asal usul, makna sampai akhirnya.(QS.50:6-10 ).Jadi menurut Al-Qur’an evolusi kehidupan ini dibagi dalam 2 perioda utama, ialah :
  • Kehidupan sebelum diciptakannya manusia, yang berjalan seluruhnya mengikuti cara pemeliharaan/‘amr kholiq, sehingga bumi siap untuk dihuni manusia
  • Kehidupan sesudah diciptakannya manusia dimana jalannya kehidupan tidak lagi seluruhnya mengikuti ‘amr Tuhan, karena adanya intervensi manusia.
Al-Qur’an mendiskripsikan realita yang ada ini dalam kerangka tujuan penciptaannya sehingga mampu memberikan hakekat yang mendasari proses yang ada dan makna fenomena yang tampak. Dengan demikian diskripsi Al-Qur’an itu lebih lengkap dan lebih benar daripada pengamatan manusia tentang realita. Wajarlah bila manusia juga wajib megambil Al-Qur’an untuk menyempurnakan pengamatannya tentang realita. REALITA yang sebenarnya REALITA, bukan CITRA MANUSIA tentang REALITA.

Kesimpulan apa yang dapat kita ambil ?

Dampak pandangan manusia tentang REALITA :
  1. Bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya dan berkembang dengan sendirinya mengan-dung arti bahwa keperiadaan alam ini tidak mengandung tujuan. Konsekwensinya pengertian kata kriteria tidak lagi mantap dan mutlak dan hanya menjadi nisbi, temporer dan individuil sehingga akan bersifat egosentris/anthroposentris yang selanjutnya akan melahirkan sifat individualistik dan egoistik.
  2. Alam berjalan secara autochton dan bersifat sebagai suatu automaton. Apakah sumber otomasi itu ada dalam dirinya atau akibat interaksi dengan lingkungannya tidak menjadi masalah. Akibatnya siapa yang menguasai alam dialah yang berkuasa atas kehidupan dialah yang akan menentukan hitam-putihnya kehidupan. Tidaklah terdapat rasa tanggung-jawab kecuali pada dirinya. Ini sama saja dengan tidak di-isyaratkan ketentuan tanggung-jawab.
  3. Keperiadaan manusia tidak berbeda dengan keperiadaan alam. Existensi manusiapun tidak mengenal tujuan, sehingga tidak pula mengenal tanggung-jawab. Lahirlah adagium ‘hidup semau gue’. Inilah sumber kelahiran pragmatisme, positivisme, materialisme dan secularisme.
Sebaliknya apa konsekwensi yang lahir dari pandangan Al-Qur’an  terhadap REALITA ?

Menurut Al-Qur’an REALITA yang ada ini :
  • Diciptakan dengan suatu tujuan, sehingga untuk mencapai tujuan itu Sang Pencipta harus mengatur dan merekayasa-nya. Meskipun dari luar alam itu autochton, namun sumbernya ditentukan oleh Sang Pencipta melalui, menurut terminologi Al-Qur’an , apa yang disebut fitroh & takdir yang dilekatkan pada tiap tiap makhluk-Nya, yang menampakkan diri sebagai hukum alam. Jadi Tuhan mengatur dari dalam diri tiap makhluk-Nya.
  • Demikian pula makhluk manusia. Dia diciptakan dengan suatu tujuan tertentu. Hanya pada manusia di-anugerahkan free-will yang tidak diberikan pada makhluk-makhluk-Nya yang lain. Maka pada manusia diberi tambahan alat pemelihara/‘amr yang berupa dien. Kalau makhluk selain manusia ‘amr Tuhan bersifat imperatif, maka ‘amr Tuhan terhadap manusia disamping yang bersifat imperatif yang berlaku bagi raga/wahana. Untuk Ruh, ada ‘amr tambahan yang bersifat facultative, Kalau makhluk selain manusia menerima ketentuan yang mengikat. Maka manusia menerima amanah. Amanah inilah yang melahirkan tanggung-jawab, waktu bertanggung-jawab, macam pertanggungan-jawab serta reward dan punishment yang berupa surga & neraka.
Apakah manusia tidak ingin melengkapi data data tentang REALITA ini, sehingga mampu merekayasa kehidupannya -yang akan menyelamatkan kehidupan ini- yang berarti juga menyelamatkan dirinya ?. Informasi apa yang harus menusia cari dalam Al-Qur’an, Tentu saja informasi yang tidak disajikan oleh alam, ialah data data yang dikenal dengan istilah ghoib. Sesuatu yang ghoib ialah sesuatu yang tidak mungkin didapat oleh manusia dari pengamatannya terhadap alam. Sesuatu yang ghoib ialah sesuatu yang tidak dapat di-deteksi, tetapi dapat dimengerti, difahami oleh akidah cq. akal setelah diberitahu oleh Sang Pencipta.

WAHYU MELENGKAPI ARTI REALITA !

by A.Baghowi B

Tidak ada komentar: