Ilmu tafsir yang hingga
sekarang lazim diakui atau dianggap
Ulumul Qur’an tampaknya tidak memberikan informasi dalam
bentuk metoda penafsiran melainkan
hanya persyaratan penafsiran. Dengan
metoda Ulumul Qur’an, Al-Qur’an dipandang sebagai kumpulan dari 6236 ayat yang
satu sama lain tidak tampak saling berhubungan, tidak ada makna tertentu yang
diberikan pada tertib susunan surah maupun ayatnya. Kedudukan ayat dan surah di
dalam Ulumul Qur’an tidak dianggap penting. Surah yang mengelompokkan ayat-ayat
hanya dianggap sebagai alamat/tempat ayat berada, dan judul yang dipakai tidak
mendapat perhatian sama sekali. Selain itu, makna dibalik perubahan tertib susunan nuzul ayat dan surah menjadi
bentuk Al-Qur’an diabaikan.
Ada
dua periode sehubungan dengan penerimaan wahyu oleh manusia, yaitu:
a. Periode kenabian.
Selama masa ini, manusia dibimbing secara langsung oleh Nabi dalam memahami
wahyu. Usaha pemahaman ini dilakukan sedikit demi sedikit dengan topik / cakupan
yang berhubungan dengan kejadian atau kondisi masyarakat saat itu, baik kondisi
mental-spiritual maupun sosiokultural. Sehingga bisa dikatakan bahwa cara
pemahaman wahyu pada periode ini bersifat tekstual dan praktikal.
b. Periode paska kenabian. Manusia mempelajari wahyu tanpa bimbingan seorang Rasul secara langsung. Wahyu yang berupa Al-Qur’an dipelajari dengan tambahan informasi berupa sunnah Nabi.
Dari fakta di atas dapat dipertanyakan, mengapa Allah mengubah tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat menjadi seperti yang ada di Al-Qur’an. Apakah ini berhubungan dengan metoda penyampaian wahyu tekstual setelah nabi wafat? Yang jelas, dengan perubahan ini maka metoda penafsirannya pasti juga berubah. Ulumul Qur’an sebagai metoda tafsir sama sekali tidak memasukkan fakta tersebut sebagai pertimbangan dalam cara menafsirkan wahyu, sehingga wahyu digambarkan sebagai kumpulan ayat-ayat saja. Apakah ini satu sebab sehingga hasil penafsiran yang diperoleh tidak cukup memadai sebagai ‘problem-solving methods’ dalam mengelola kehidupan abad ini dan yang akan datang?.Ulama tafsir besar, Al Maraghi, pernah mengungkapkan: “….. meskipun kitab tafsir itu bermanfaat, disamping menyingkapkan beberapa persoalan Ad-dien dan mengungkapkan berbagai kepelikan yang sulit dipahami, tetapi kebanyakan telah diberi bumbu-bumbu dengan istilah -istilah ilmu lain misalnya ilmu balaghah, nahwu, shorof, fikih, tauhid dll. yang semuanya justru merupakan hambatan bagi proses pemahaman para pembacanya. Kadang-kadang kitab-kitab tafsir diberi ilustrasi cerita-cerita yang bertentangan dengan fakta dan kebenaran, bahkan bertentangan dengan akal sehat dan fakta-fakta pseudo-ilmiah yang sulit dipertanggung-jawabkan. Penyebabnya antara lain adalah tidak adanya batasan dalam menafsirkan Al-Qur’an kecuali batasan literer filologik yang sangat tergantung pada kemampuan serta pandangan mufasirnya sendiri, sehingga bersifat ultra subjektif”.
Inilah sebabnya mengapa dalam khasanah kehidupan ummat kemudian timbul istilah-istilah seperti membumikan Islam, mendaratkan Islam, revitalisasi Islam, mengilmiahkan Islam, modernisasi, Islam otentik, Islam kiri, dan lain-lain yang semuanya menggambarkan upaya menjadikan wahyu sebagai ‘petunjuk yang siap pakai’. Sebab, sudah sering muncul anggapan bahwa beberapa ayat atau hukum yang tertulis dalam Al-Qur’an tidak relevan lagi pada saat ini. Ini menandakan bahwa metoda tafsir tradisional belum bisa mencukupi kebutuhan manusia sebagai suatu ‘field guide’ nya kehidupan.
Pokok kekurangan metoda Ulumul Qur’an adalah kekurang mampuannya
dalam menggambarkan wajah Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang bulat dan utuh.
Ayat-ayat Al-Qur’an dianggap sebagai pernyataan-pernyataan tunggal yang
mandiri/otonom, yang bisa dicomot dari surahnya, ditafsirkan sendiri, dan
dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat dari surah lain tanpa persyaratan. Jika
demikian, apa gunanya Tuhan mengelompokkan ayat-ayat dalam surah, dan tiap
surah diberi nama sendiri-sendiri, bukan hanya nomor urut, dan tersusun dalam
tertib susunan yang
Hal yang diungkap lewat metoda Ulumul Qur’an hanyalah
pengertian harfiah dari wahyu sehingga hasil penafsirannya bersifat disseitig/kekinian, tertutup, tidak
menjangkau masa mendatang, tidak antisipatif serta jiwa dan semangatnya tidak
terungkap. Hal ini dibahas secara luas oleh Nasr Hamid Abu Zaid (dalam bukunya Vernieuwing
in het islamitische denken) dan Muhammad Arkoun (dalam bukunya Rethingking
Islam). Inti pembahasan kedua penulis adalah Al-Qur’an sebagai naskah yang
‘definitif’, dimana kata, kalimat,
maupun frase atau bagian-bagiannya tidak akan bertambah, berkurang atau berubah
sehingga kandungannya bersifat space-time-cultural-independence.
Al-Qur’an dipandang sebagai teks dengan validitas yang mutlak, sehingga
fisibilitas dan akseptabilitas implementasinya (dari segi legalitas dan
formalitas) harus diupayakan oleh ummat Islam sendiri. Inilah
Sesungguhnya upaya ke arah penemuan penasiran Al-Qur’an
secara sistemik telah dimulai pada abad 4 – 12 H. atau abad X – XII M. Untuk menunjukkan hubungan antar unit digunakan
kata NAZM atau KOHERENSI.
1. Al-Khattabi (319 – 388 H.)
Al-Khattabi
menggunakan kata NAZM untuk susunan kata-kata yang dapat dipakai maknanya. Jika
nazm ditemukan pada tiap susunan kata, frase atau kalimat, maka Khattabi masih
menghubungkannya dengan tata bahasa / balaghah. Usaha ini
merupakan usaha menemukan makna
2. Al-Baqillani (338-403 H.)
Seperti
Khattabi, beliau masih menafsirkan NAZM sebagai terminologi balaghah meskipun
deskripsinya tidak sejelas Khattabi. Al-Baqillani menggunakan kata nazm untuk menunjukkan adanya
keterkaitan antara kata dan makna. Artinya, makna kata yang digunakan
Al-Qur’an berbeda dengan makna kata dalam bahasa etnis Arab.
3. Jurjani (471-578 H.)
Kata NAZM diberi pengertian yang lebih luas yaitu mencakup adanya hubungan antara kata dengan
hubungan kausal yang ia sebut MA’ANI
AN NAHWU (gramatical meaning) yang masih dalam pola ilmu bahasa.
Apakah makna kosa kata Qur’ani dapat berubah mengikuti perkembangan budaya
manusia, mengingat makna suatu kosa kata dalam bahasa etnis (socially
constructed) dapat mengalami perubahan makna (arti konotatif) sesuai dengan
perkembangan peradaban bangsanya.
4. Zamakshari
Disini,
NAZM masih dalam pengertian balaghah dan diberi arti sebagai grammatical
rhetoric. Sehingga, untuk menemukan makna
Keempat ulama sudah menuju ke arah pemikiran sistemik,
dengan menunjukkan bahwa bahasa
Al-Qur’an tidak identik dengan bahasa etnis Arab. Artinya, kata dan kalimat
yang ada di dalam Al-Qur’an mempunyai makna yang berbeda dari ‘kata’ dan ‘kalimat’
dalam bahasa etnis Arab.
5. Az-Zarkasi (1344-1391 M.)
Az-Zarkasi mulai berbicara tentang hubungan antar surah yang dia sebut dengan
kata MUNASABAH (interconnectiveness). Beliaulah yang
mula-mula menyatakan adanya perbedaan
makna antara tertib susunan nuzul surah dengan tertib susunan surah dalam
Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ada keterpaduan (koherensi struktural ) antara
satu bagian dengan bagian yang lain, yang didasarkan atas kandungan dan tertib
susunannya.
6. Ar-Rozi,
Nisabuni, Abu Hayyan Syarbini dan Al-Alusi
Ar-Rozi mengikuti jejak Az-Zarkasi
tetapi mengganti istilah munasabah dengan istilah lama, nazm. Nisabuni, Abu
Hayyan Syarbini dan Al-Alusi mengikuti jejak Ar-Rozi dan istilah NAZM diberi pengertian ‘hubungan
linier antar ayat maupun surah’. Keempatnya mengakui pentingnya tertib susunan ayat maupun surah,
walaupun belum menemukan keseluruhan kerangka wahyu, yakni sebagai a
coherent body of ideas or principles.
Konsekwensi dari hubungan linier yang dipaparkan Ar-Rozi
di atas pasti akan mempengaruhi hubungan
antar ayat dan hubungan antar surah menurut urutannya. Walaupun ketegasan
dari hubungan ini belum dijelaskan, namun penemuan ini mengarah pada
kemustahilan mencomot satu ayat dan menafsirkannya tanpa menghubungkan ayat
tersebut dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Cara penafsiran atomistik mulai
terkikis. Setidaknya pengetahuan akan adanya hubungan suatu ayat dengan ayat
yang lain telah dianggap penting. Apakah ada pembagian lain dalam satu surah
disamping rangkaian ayat ? Kenapa ada ruku’? apakah surah mengandung
topik-topik tertentu ?
Munculnya
kesembilan ulama di atas menggambarkan adanya satu langkah maju dalam memandang
wahyu sebagai satu sistem yang bulat, bukan sesuatu yang terpisah-pisah tanpa ada
hubungan struktural dan fungsional yang jelas antar ayat. Hal ini akan
mempengaruhi cara penafsiran wahyu dalam rangka memahami pesan Nya.
7. Maududi
Maududi menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki TEMA SENTRAL, SUBJEK dan TUJUAN.
Tema sentral Al-Qur’an adalah ‘akhlak’,
subjeknya adalah ‘manusia dan penyelematan manusia’, sedangkan tujuannya adalah
‘keselamatan kehidupan dunia’. Ini berarti bahwa tema sentral, subjek dan
tujuan Al-Qur’an-lah yang merupakan kerangka
dan batasan penafsiran atau acuan dasar penafsiran atau KERANGKA DASAR
AL-QUR’AN. Dengan demikian wajah Al-Qur’an sebagai suatu ‘complete
discourse’ terwujud. Lalu,
bagaimana kedudukan surah terhadap tema sentral, tujuan dan subjek Al-Qur’an ?
Inlah yang wajib kita teruskan upayanya.
8. Hijazi
Hijazi menunjukkan adanya kesatuan topik (topical unity) dalam ayat dan surah disamping adanya
nazm. Topical unity ini penting untuk mencari nazm-nya ayat dan surah. Ini
mengarahkan pikiran, bagaimana bila sekelompok ayat-ayat dan surah-surah yang
mempunyai topik yang sama dikumpulkan dengan mengikuti urutan nuzulnya, dan
dari sini kemudian ditentukan nazmnya. Inilah kemudian menjadi landasan TAFSIR
TEMATIK.
Mengapa
Hijazi mengikuti tertib urutan nuzulnya dan bukan tertib urutan Al-Qur’an ?
Kalau kita membaca suatu surah Al-Qur’an, maka kita akan menemukan beberapa
topik di dalamnya. Atas dasar apa topik-topik itu membentuk suatu topical
unity?. Mungkinkah salah satu topiknya
akan merupakan topik sentral (tema) surah yang merupakan acuan untuk memadukan
topik-topik yang ada sehingga terbentuk topical unity? Bagaimana cara
menentukan tema ini? Apa yang menyatukan topik-topik itu sehingga merupakan
suatu topical unity? Mungkinkah judul surah bisa menjadi petunjuk?.
9. Fazlur Rahman
Dalam pemaparannya, Fazlur Rahman
telah melihat Al-Qur’an sebagai suatu
ajaran yang utuh, suatu definite
weltanshauung, suatu pandangan yang bulat tentang alam dan kehidupan, suatu
pandangan holistik yang berbeda dengan pandangan umum zamannya yang
bersifat partial sampai atomistik. Pemaparannya sudah sampai ke TEMATIC COHERENS tapi belum sampai ke STRUCTURAL
COHERENS. Tema ditentukan dengan
melihat/membandingkan situasi/ problema yang dihadapi pada saat ini dengan
situasi pada zaman nabi, atau sebaliknya. Ini menggambarkan bahwa Fazlur Rahman
menyetujui pentingnya urutan nuzul, bahkan dapat dikatakan bahwa urutan nuzul-lah
yang merupakan kunci penafsiran, Padahal,
tertib susunan ayat maupun surah yang ditinggalkan Nabi sudah berubah.
Beliau masih melihat wahyu sebagaimana diturunkan, bukan wahyu yang dikemas
dalam Al-Qur’an yang ditinggalkan. Namun kita dapat menggunakan idenya, untuk
digunakan pada Al-Qur’an.
10. Farohi
dan Islahi
Menurut kedua ulama ini, NAZM juga terdapat pada setiap surah, sehingga tiap surah merupakan
satu unit atau satu THEMATIC COMPLETE
DISCOURSE yang disajikan sebagai kerangka struktural yang terpadu.
Sedangkan yang berperan sebagai penentu nazm surah adalah tertib susunan
ayat-ayatnya. Kedua ulama juga memperkenalkan
istilah AMUD atau tema sentral
surah dan NAZA’IR (paralel)
untuk menunjukkan adanya pasangan-pasangan surah. Amud membentuk dimensi
organik konsep keterpaduan surah. Dalam menentukan metodologi tafsir, unsur
nazm, amud dan naza’ir dipadukan dengan unsur-unsur dalam ulumul Qur’an.
Farohi dan Islahi menyebutkan bahwa Ulumul Qur’an terbagi
dalam 2 prinsip: prinsip internal
dan prinsip eksternal, atau terbagi
dalam 2 kriteria: Qod’i (categorical) dan dzanni (conjectural).
Arti
perubahan tertib susunan nuzul ke tertib susunan Al-Qur’an belum mendapat perhatian yang memadai, sehingga
perubahan ini belum dipertimbangkan dalam menentukan metoda penafsiran. Surah sudah di diskripsikan sebagai satu
kesatuan / unit, namun belum dijelaskan hubungan / kedudukan surah dalam
struktur Al-Qur’an. Apa sebenarnya yang merupakan unit fungsional atau
struktural Al-Qur’an belum dijelaskan secara explisit.
11. Thabataba’i
Di sini ditambahkan pengertian GHOROD,
yang menggambarkan tujuan penyampaian/ diturunkannya
Al-Qur’an yang dimiliki tiap surah sehingga menguatkan makna fungsional dan
struktural surah. Beliau menunjukkan perbedaan esensial antar surah.
Ghorod
inilah yang membagi surah dalam seksi/sektor/topik dan menentukan hubungan satu
topik dengan topik yang lain, juga menentukan arah penafsiran tiap
ayat-ayatnya. Thabataba’i
menganggap bahwa tertib susunan surah
merupakan suatu kesatuan komposi si yang utuh. Gambaran ini menunjukkan
bahwa suratlah yang merupakan kesatuan
hudaa atau kesatuan petunjuk untuk menuju ke jalan yang benar. Surah merupakan unit fungsional terkecil
Al-Qur’an. Sekali lagi, penafsiran atomistik telah ditinggalkan. Namun
demikian, pola susunan Al-Qur’an atau ujud sistematika Al-Qur’an masih perlu
ditemukan karena ini akan menentukan keberhasilan penafsiran sebagai metoda
memahami wahyu secara utuh. Sayangnya Thabataba’i belum melihat bahwa surah
surah Al-Qur’an itu terbagi dalam 13 kelompok, yang tiap kelompoknya terdiri
dari satu atau lebih surah Makiyah dan diikuti oleh satu atau lebih surah
Madani. Susunan tiap kelompok surah, garis besarnya identik dengan susunan
nuzul, ialah surah surah Makiyah diikuti oleh surah surah Madani.
12. Sayid
Quthub
Ulama ini menyatakan bahwa setiap surah memiliki kepribadian, jiwa, watak dan ciri khas, serta
memiliki tema-tema yang terikat pada ‘tema sentral’nya yang ia sebut MITHWAR. Mithwar inilah yang merupakan
‘sudut pandang’ surah yang selanjutnya menentukan pola komposisi surah surah
Al-Qur’an. Dengan demikian Sayid Quthubpun telah merintis jalan menuju cara
penafsiran baru (penafsiran sistemik) dan meninggalkan cara penafsiran
atomistik.
Sayid menggambarkan pola
susunan Al-Qur’an sebagai komposisi sebuah lagu, dimana perubahan irama dan
nadanya menunjukkan perubahan tema dan pesan yang ingin disampaikan. Suatu lagu
pasti memiliki lirik dan lirik lagu pasti memiliki tujuan yang disebutnya HADAF. Tujuan lagu Al-Qur’an adalah to
organize a community/ society on the basis of a special creed, a definite
outlook and a new structure.
Quthub
membuat satu langkah maju dengan memperlihatkan komposisi atau pola struktur
Al-Qur’an yang mengarah ke sistematika Al-Qur’an. Selain itu, dinyatakan bahwa
Wajah Al-Qur’an yang telah dilukiskan oleh kedua Ulama
modern yang disebutkan terakhir, telah mengarah pada suatu bentuk kesatuan
struktural dan fungsional. Hanya, belum dinyatakan secara eksplisit apa
yang membentuk ‘unit struktural dan unit fungsional terkecil’nya Al-Qur’an.
Juga belum dijelaskan makna judul-judul surah dan makna perubahan tertib
susunan nuzul menjadi tertib susunan Al-Qur’an. Dengan demikian perubahan peran
hadits yang biasanya digunakan sebagai satu satunya landasan acuan penafsiran
yang notabene banyak melahirkan perpecahan, harus ditinjau penempatannya pada proporsi yang sebenarnya.
Dari
pendapat para Ulama di atas, belum dapat disusun struktur wajah Al-Qur’an yang
jelas, yang dapat digunakan untuk menyusun metoda penafsiran sistemik.
?
Apa
sesungguhnya yang ingin disampaikan kitab Al-Qur’an dengan susunan seperti yang
ada sekarang ? Apakah perubahan ini berhubungan dengan tidak adanya Rasul
sesudah Muhammad s.a.w., yang
berarti bahwa ummat paska Nabi harus
mampu memahami wahyu tanpa bimbingan langsung seorang Nabi? Atau apakah
perubahan tertib susunan surah dan ayat itu untuk mengganti lembaga rabaniyah
yang dilarang oleh Sang Pencipta ?
? Apakah perubahan tertib
susunan wahyu mengubah juga cara pemahaman wahyu dari metoda pasif ke metoda
aktif ? Perubahan tertib susunan wahyu yang meliputi
suatu perubahan sistematika tanpa perubahan jumlah kata dan kalimat, inklusif
pesan yang terkandung, merupakan suatu perubahan besar dan unik. Perubahan
itu pasti mempunyai tujuan yang besar
dan unik pula.
Dengan
lahirnya struktur global dunia (tentu Tuhan sudah mengetahuinya) terasa adanya
kebutuhan pandangan baru mengenai wahyu sebagai suatu ajaran yang komprehensif,
bulat dan utuh, yang selalu dapat dipakai untuk menghadapi setiap permasalahan
kehidupan manusia. Melalui cara pemahaman tradisional, ternyata ummat Muhammad
tidak mampu bertahan sebagai uswatun ummah.
Dengan
perubahan tertib susunan wahyu yang diikuti dengan metoda pemahaman yang
sistemik, insya Allah ummat akan mampu
menemukan pandangan hidup yang dikehendaki Sang Pencipta, yang dapat mengatasi
pandangan-pandangan hidup ciptaan manusia. Dengan demikian ummat akan mampu
menciptakan peradaban Ilahiyah yang akan mengubah wajah dunia yang sekarang. Proses transformasi sosio-kultural melalui
perubahan pandangan/ falsafah hidup akan berlangsung, yang selanjutnya akan
mengubah paradigma ilmu-ilmu perekayasa kehidupan.
Referensi: Bahar,Baghowi A, Sejarah Penggalian Tafsir Al Quran dalam Seri Al Qur'anologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar