Translate

Telusuri via Blog Ini

Jumat, 30 Mei 2025

SEJARAH PENGGALIAN METODA TAFSIR (Al Qur'an)

 

Ilmu tafsir yang hingga sekarang lazim diakui atau dianggap baku dikenal dengan istilah Ulumul Qur’an. Penggalian ilmunya terutama didasarkan pada ilmu bahasa. Penunjang utama ilmu tafsir adalah Asbabun Nuzul dan ilmu hadits, sedangkan tujuan Ulumul Qur’an adalah untuk memahami wahyu melalui ilmu bahasa yang dipakai Al-Qur’an. Karena pada saat itu bangsa Arab belum memiliki ilmu pengetahuan sosial yang cukup maju (selain ilmu syair) seperti halnya bangsa-bangsa tetangganya, wajar bila usaha pemahamannya tentang Al-Qur’an dilakukan terutama dengan menggunakan pendekatan filologik-literer.

Ulumul Qur’an tampaknya tidak memberikan informasi dalam bentuk metoda penafsiran melainkan hanya persyaratan penafsiran. Dengan metoda Ulumul Qur’an, Al-Qur’an dipandang sebagai kumpulan dari 6236 ayat yang satu sama lain tidak tampak saling berhubungan, tidak ada makna tertentu yang diberikan pada tertib susunan surah maupun ayatnya. Kedudukan ayat dan surah di dalam Ulumul Qur’an tidak dianggap penting. Surah yang mengelompokkan ayat-ayat hanya dianggap sebagai alamat/tempat ayat berada, dan judul yang dipakai tidak mendapat perhatian sama sekali. Selain itu, makna dibalik perubahan tertib susunan nuzul ayat dan surah menjadi bentuk Al-Qur’an diabaikan.

Ada dua periode sehubungan dengan penerimaan wahyu oleh manusia, yaitu:

a.  Periode kenabian. Selama masa ini, manusia dibimbing secara langsung oleh Nabi dalam memahami wahyu. Usaha pemahaman ini dilakukan sedikit demi sedikit dengan topik / cakupan yang berhubungan dengan kejadian atau kondisi masyarakat saat itu, baik kondisi mental-spiritual maupun sosiokultural. Sehingga bisa dikatakan bahwa cara pemahaman wahyu pada periode ini bersifat tekstual dan praktikal.

b.    Periode paska kenabian. Manusia mempelajari wahyu tanpa bimbingan seorang Rasul secara langsung. Wahyu yang berupa Al-Qur’an dipelajari dengan tambahan informasi berupa  sunnah Nabi.

Dari fakta di atas dapat dipertanyakan, mengapa Allah mengubah tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat menjadi seperti yang ada di Al-Qur’an. Apakah ini berhubungan dengan metoda penyampaian wahyu tekstual setelah nabi wafat? Yang jelas, dengan perubahan ini maka metoda penafsirannya pasti juga berubah. Ulumul Qur’an sebagai metoda tafsir sama sekali tidak memasukkan fakta tersebut sebagai pertimbangan dalam cara menafsirkan wahyu, sehingga wahyu digambarkan sebagai kumpulan ayat-ayat saja. Apakah ini satu sebab sehingga hasil penafsiran yang diperoleh tidak cukup memadai sebagai ‘problem-solving methods’ dalam mengelola kehidupan abad ini dan yang akan datang?.

Ulama tafsir besar, Al Maraghi, pernah mengungkapkan: “….. meskipun kitab tafsir itu bermanfaat, disamping menyingkapkan beberapa persoalan Ad-dien dan mengungkapkan berbagai kepelikan yang sulit dipahami, tetapi kebanyakan telah diberi bumbu-bumbu dengan istilah -istilah ilmu lain misalnya ilmu balaghah, nahwu, shorof,  fikih, tauhid dll. yang semuanya justru merupakan hambatan bagi proses pemahaman para pembacanya. Kadang-kadang kitab-kitab tafsir diberi ilustrasi cerita-cerita yang bertentangan dengan fakta dan kebenaran, bahkan bertentangan dengan akal sehat dan fakta-fakta pseudo-ilmiah yang sulit dipertanggung-jawabkan. Penyebabnya antara lain adalah tidak adanya batasan dalam menafsirkan Al-Qur’an kecuali batasan literer filologik yang sangat tergantung pada kemampuan serta pandangan mufasirnya sendiri, sehingga bersifat ultra subjektif”.

Inilah sebabnya mengapa dalam khasanah kehidupan ummat kemudian timbul istilah-istilah seperti membumikan Islam, mendaratkan Islam, revitalisasi Islam, mengilmiahkan Islam, modernisasi, Islam otentik, Islam kiri, dan lain-lain yang semuanya menggambarkan upaya menjadikan wahyu sebagai ‘petunjuk yang siap pakai’. Sebab, sudah sering muncul anggapan  bahwa beberapa ayat atau hukum yang tertulis dalam Al-Qur’an tidak relevan lagi pada saat ini. Ini menandakan bahwa metoda tafsir tradisional belum bisa mencukupi kebutuhan manusia sebagai suatu  ‘field guide’ nya kehidupan.

Pokok kekurangan metoda Ulumul Qur’an adalah kekurang mampuannya dalam menggambarkan wajah Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang bulat dan utuh. Ayat-ayat Al-Qur’an dianggap sebagai pernyataan-pernyataan tunggal yang mandiri/otonom, yang bisa dicomot dari surahnya, ditafsirkan sendiri, dan dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat dari surah lain tanpa persyaratan. Jika demikian, apa gunanya Tuhan mengelompokkan ayat-ayat dalam surah, dan tiap surah diberi nama sendiri-sendiri, bukan hanya nomor urut, dan tersusun dalam tertib susunan yang baku ?

Hal yang diungkap lewat metoda Ulumul Qur’an hanyalah pengertian harfiah dari wahyu sehingga hasil penafsirannya bersifat disseitig/kekinian, tertutup, tidak menjangkau masa mendatang, tidak antisipatif serta jiwa dan semangatnya tidak terungkap. Hal ini dibahas secara luas oleh Nasr Hamid Abu Zaid (dalam bukunya Vernieuwing in het islamitische denken) dan Muhammad Arkoun (dalam bukunya Rethingking Islam). Inti pembahasan kedua penulis adalah Al-Qur’an sebagai naskah yang ‘definitif’, dimana  kata, kalimat, maupun frase atau bagian-bagiannya tidak akan bertambah, berkurang atau berubah sehingga kandungannya bersifat space-time-cultural-independence. Al-Qur’an dipandang sebagai teks dengan validitas yang mutlak, sehingga fisibilitas dan akseptabilitas implementasinya (dari segi legalitas dan formalitas) harus diupayakan oleh ummat Islam sendiri. Inilah medan jihad intelektual/ijtihad ummah.

Sesungguhnya upaya ke arah penemuan penasiran Al-Qur’an secara sistemik telah dimulai pada abad 4 – 12 H. atau abad X – XII M. Untuk menunjukkan hubungan antar unit digunakan kata NAZM atau KOHERENSI. Para ulama yang telah mengupayakan metoda sistemik ini antara lain:

1. Al-Khattabi (319 – 388 H.)

Al-Khattabi menggunakan kata NAZM untuk susunan kata-kata yang dapat dipakai maknanya. Jika nazm ditemukan pada tiap susunan kata, frase atau kalimat, maka Khattabi masih menghubungkannya dengan tata bahasa / balaghah. Usaha ini merupakan usaha menemukan makna baku dari kosa kata yang digunakan Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Khattabi menganggap bahwa bahasa yang dipakai Al-Qur’an bukan bahasa etnis Arab 100%, paling tidak pengertian denotatif tiap kosa katanya khusus bersifat Qur’ani. Namun demikian, struktur dan tema wahyu belum disentuh.

2. Al-Baqillani (338-403 H.)

Seperti Khattabi, beliau masih menafsirkan NAZM sebagai terminologi balaghah meskipun deskripsinya tidak sejelas Khattabi. Al-Baqillani menggunakan kata nazm untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara kata dan makna. Artinya, makna kata yang digunakan Al-Qur’an berbeda dengan makna kata dalam bahasa etnis Arab.

3. Jurjani (471-578 H.)

Kata NAZM diberi pengertian yang lebih luas yaitu mencakup adanya hubungan antara kata dengan hubungan kausal yang ia sebut MA’ANI AN NAHWU (gramatical meaning) yang masih dalam pola ilmu bahasa. Apakah makna kosa kata Qur’ani dapat berubah mengikuti perkembangan budaya manusia, mengingat makna suatu kosa kata dalam bahasa etnis (socially constructed) dapat mengalami perubahan makna (arti konotatif) sesuai dengan perkembangan peradaban bangsanya.

4. Zamakshari

Disini, NAZM masih dalam pengertian balaghah dan diberi arti sebagai grammatical rhetoric. Sehingga, untuk menemukan makna baku harus ditinjau penggunaan kata di dalam susunan kalimat (syntaxis). Ini menunjukkan bahwa ungkapan bahasa di dalam Al-Qur’an diakui memiliki sifat / ciri yang khas walaupun menggunakan abjad dan gramatika Arab.  

Keempat ulama sudah menuju ke arah pemikiran sistemik, dengan menunjukkan bahwa bahasa Al-Qur’an tidak identik dengan bahasa etnis Arab. Artinya, kata dan kalimat yang ada di dalam Al-Qur’an mempunyai makna yang berbeda dari ‘kata’ dan ‘kalimat’ dalam bahasa etnis Arab.

5. Az-Zarkasi (1344-1391 M.)

Az-Zarkasi mulai berbicara tentang hubungan antar surah yang dia sebut dengan kata MUNASABAH (interconnectiveness). Beliaulah yang mula-mula menyatakan adanya perbedaan makna antara tertib susunan nuzul surah dengan tertib susunan surah dalam Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ada keterpaduan (koherensi struktural ) antara satu bagian dengan bagian yang lain, yang didasarkan atas kandungan dan tertib susunannya.

6. Ar-Rozi,  Nisabuni, Abu Hayyan Syarbini dan Al-Alusi

Ar-Rozi mengikuti jejak Az-Zarkasi tetapi mengganti istilah munasabah dengan istilah lama, nazm. Nisabuni, Abu Hayyan Syarbini dan Al-Alusi mengikuti jejak Ar-Rozi dan istilah NAZM diberi pengertian ‘hubungan linier antar ayat maupun surah’. Keempatnya mengakui pentingnya tertib susunan ayat maupun surah, walaupun belum menemukan keseluruhan kerangka wahyu, yakni sebagai a coherent body of ideas or principles.

Konsekwensi dari hubungan linier yang dipaparkan Ar-Rozi di atas pasti akan mempengaruhi hubungan antar ayat dan hubungan antar surah menurut urutannya. Walaupun ketegasan dari hubungan ini belum dijelaskan, namun penemuan ini mengarah pada kemustahilan mencomot satu ayat dan menafsirkannya tanpa menghubungkan ayat tersebut dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Cara penafsiran atomistik mulai terkikis. Setidaknya pengetahuan akan adanya hubungan suatu ayat dengan ayat yang lain telah dianggap penting. Apakah ada pembagian lain dalam satu surah disamping rangkaian ayat ? Kenapa ada ruku’? apakah surah mengandung topik-topik tertentu ?

Munculnya kesembilan ulama di atas menggambarkan adanya satu langkah maju dalam memandang wahyu sebagai satu sistem yang bulat, bukan sesuatu yang terpisah-pisah tanpa ada hubungan struktural dan fungsional yang jelas antar ayat. Hal ini akan mempengaruhi cara penafsiran wahyu dalam rangka memahami pesan Nya.

7.  Maududi      

Maududi menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki TEMA SENTRAL, SUBJEK dan TUJUAN. Tema sentral Al-Qur’an adalah ‘akhlak’, subjeknya adalah ‘manusia dan penyelematan manusia’, sedangkan tujuannya adalah ‘keselamatan kehidupan dunia’. Ini berarti bahwa tema sentral, subjek dan tujuan Al-Qur’an-lah yang merupakan kerangka dan batasan penafsiran atau acuan dasar penafsiran atau KERANGKA DASAR AL-QUR’AN. Dengan demikian wajah Al-Qur’an sebagai suatu complete discourse terwujud. Lalu, bagaimana kedudukan surah terhadap tema sentral, tujuan dan subjek Al-Qur’an ? Inlah yang wajib kita teruskan upayanya.

8.  Hijazi

Hijazi menunjukkan adanya kesatuan topik (topical unity) dalam ayat dan surah disamping adanya nazm. Topical unity ini penting untuk mencari nazm-nya ayat dan surah. Ini mengarahkan pikiran, bagaimana bila sekelompok ayat-ayat dan surah-surah yang mempunyai topik yang sama dikumpulkan dengan mengikuti urutan nuzulnya, dan dari sini kemudian ditentukan nazmnya. Inilah kemudian menjadi landasan TAFSIR TEMATIK.

Mengapa Hijazi mengikuti tertib urutan nuzulnya dan bukan tertib urutan Al-Qur’an ? Kalau kita membaca suatu surah Al-Qur’an, maka kita akan menemukan beberapa topik di dalamnya. Atas dasar apa topik-topik itu membentuk suatu topical unity?. Mungkinkah salah satu topiknya akan merupakan topik sentral (tema) surah yang merupakan acuan untuk memadukan topik-topik yang ada sehingga terbentuk topical unity? Bagaimana cara menentukan tema ini? Apa yang menyatukan topik-topik itu sehingga merupakan suatu topical unity? Mungkinkah judul surah bisa menjadi petunjuk?.

9. Fazlur Rahman 

Dalam pemaparannya, Fazlur Rahman telah melihat Al-Qur’an sebagai suatu ajaran   yang utuh, suatu definite weltanshauung, suatu pandangan yang bulat tentang alam dan kehidupan, suatu pandangan holistik yang berbeda dengan pandangan umum zamannya yang bersifat partial sampai atomistik. Pemaparannya sudah sampai ke TEMATIC COHERENS tapi belum sampai ke STRUCTURAL COHERENS. Tema ditentukan dengan melihat/membandingkan situasi/ problema yang dihadapi pada saat ini dengan situasi pada zaman nabi, atau sebaliknya. Ini menggambarkan bahwa Fazlur Rahman menyetujui pentingnya urutan nuzul, bahkan dapat dikatakan bahwa urutan nuzul-lah yang merupakan kunci penafsiran, Padahal,  tertib susunan ayat maupun surah yang ditinggalkan Nabi sudah berubah. Beliau masih melihat wahyu sebagaimana diturunkan, bukan wahyu yang dikemas dalam Al-Qur’an yang ditinggalkan. Namun kita dapat menggunakan idenya, untuk digunakan pada Al-Qur’an.

10.  Farohi dan Islahi

Menurut kedua ulama ini, NAZM juga terdapat pada setiap surah, sehingga tiap surah merupakan satu unit atau satu THEMATIC COMPLETE DISCOURSE yang disajikan sebagai kerangka struktural yang terpadu. Sedangkan yang berperan sebagai penentu nazm surah adalah tertib susunan ayat-ayatnya. Kedua ulama juga memperkenalkan istilah AMUD atau tema sentral surah dan NAZA’IR (paralel) untuk menunjukkan adanya pasangan-pasangan surah. Amud membentuk dimensi organik konsep keterpaduan surah. Dalam menentukan metodologi tafsir, unsur nazm, amud dan naza’ir dipadukan dengan unsur-unsur dalam ulumul Qur’an.

Farohi dan Islahi menyebutkan bahwa Ulumul Qur’an terbagi dalam 2 prinsip: prinsip internal dan prinsip eksternal, atau terbagi dalam 2 kriteria: Qod’i (categorical) dan dzanni (conjectural).

Arti perubahan tertib susunan nuzul ke tertib susunan Al-Qur’an belum  mendapat perhatian yang memadai, sehingga perubahan ini belum dipertimbangkan dalam menentukan metoda penafsiran. Surah sudah di diskripsikan sebagai satu kesatuan / unit, namun belum dijelaskan hubungan / kedudukan surah dalam struktur Al-Qur’an. Apa sebenarnya yang merupakan unit fungsional atau struktural Al-Qur’an belum dijelaskan secara explisit.

11.  Thabataba’i

Di sini ditambahkan pengertian GHOROD, yang menggambarkan tujuan penyampaian/ diturunkannya Al-Qur’an yang dimiliki tiap surah sehingga menguatkan makna fungsional dan struktural surah. Beliau menunjukkan perbedaan esensial antar surah.

Ghorod inilah yang membagi surah dalam seksi/sektor/topik dan menentukan hubungan satu topik dengan topik yang lain, juga menentukan arah penafsiran tiap ayat-ayatnya. Thabataba’i menganggap bahwa tertib susunan surah merupakan suatu kesatuan komposi si yang utuh. Gambaran ini menunjukkan bahwa suratlah yang merupakan kesatuan hudaa atau kesatuan petunjuk untuk menuju ke jalan yang benar. Surah merupakan unit fungsional terkecil Al-Qur’an. Sekali lagi, penafsiran atomistik telah ditinggalkan. Namun demikian, pola susunan Al-Qur’an atau ujud sistematika Al-Qur’an masih perlu ditemukan karena ini akan menentukan keberhasilan penafsiran sebagai metoda memahami wahyu secara utuh. Sayangnya Thabataba’i belum melihat bahwa surah surah Al-Qur’an itu terbagi dalam 13 kelompok, yang tiap kelompoknya terdiri dari satu atau lebih surah Makiyah dan diikuti oleh satu atau lebih surah Madani. Susunan tiap kelompok surah, garis besarnya identik dengan susunan nuzul, ialah surah surah Makiyah diikuti oleh surah surah Madani.

12.  Sayid Quthub

Ulama ini menyatakan bahwa setiap surah memiliki kepribadian, jiwa, watak dan ciri khas, serta memiliki tema-tema yang terikat pada ‘tema sentral’nya yang ia sebut MITHWAR. Mithwar inilah yang merupakan ‘sudut pandang’ surah yang selanjutnya menentukan pola komposisi surah surah Al-Qur’an. Dengan demikian Sayid Quthubpun telah merintis jalan menuju cara penafsiran baru (penafsiran sistemik) dan meninggalkan cara penafsiran atomistik.

Sayid menggambarkan pola susunan Al-Qur’an sebagai komposisi sebuah lagu, dimana perubahan irama dan nadanya menunjukkan perubahan tema dan pesan yang ingin disampaikan. Suatu lagu pasti memiliki lirik dan lirik lagu pasti memiliki tujuan yang disebutnya HADAF. Tujuan lagu Al-Qur’an adalah to organize a community/ society on the basis of a special creed, a definite outlook and a new structure.

Quthub membuat satu langkah maju dengan memperlihatkan komposisi atau pola struktur Al-Qur’an yang mengarah ke sistematika Al-Qur’an. Selain itu, dinyatakan bahwa gaya bahasa Al-Qur’an bersifat otentik.

Wajah Al-Qur’an yang telah dilukiskan oleh kedua Ulama modern yang disebutkan terakhir, telah mengarah pada suatu bentuk kesatuan struktural dan fungsional. Hanya, belum dinyatakan secara eksplisit apa yang membentuk ‘unit struktural dan unit fungsional terkecil’nya Al-Qur’an. Juga belum dijelaskan makna judul-judul surah dan makna perubahan tertib susunan nuzul menjadi tertib susunan Al-Qur’an. Dengan demikian perubahan peran hadits yang biasanya digunakan sebagai satu satunya landasan acuan penafsiran yang notabene banyak melahirkan perpecahan, harus ditinjau penempatannya  pada proporsi yang sebenarnya.

Dari pendapat para Ulama di atas, belum dapat disusun struktur wajah Al-Qur’an yang jelas, yang dapat digunakan untuk menyusun metoda penafsiran sistemik.

? Apa sesungguhnya yang ingin disampaikan kitab Al-Qur’an dengan susunan seperti yang ada sekarang ? Apakah perubahan ini berhubungan dengan tidak adanya Rasul sesudah Muhammad s.a.w., yang berarti bahwa ummat paska Nabi harus mampu memahami wahyu tanpa bimbingan langsung seorang Nabi? Atau apakah perubahan tertib susunan surah dan ayat itu untuk mengganti lembaga rabaniyah yang dilarang oleh Sang Pencipta ?

? Apakah perubahan tertib susunan wahyu mengubah juga cara pemahaman wahyu dari metoda pasif ke metoda aktif ? Perubahan tertib susunan wahyu yang meliputi suatu perubahan sistematika tanpa perubahan jumlah kata dan kalimat, inklusif pesan yang terkandung, merupakan suatu perubahan besar dan unik. Perubahan itu  pasti mempunyai tujuan yang besar dan unik pula.

Dengan lahirnya struktur global dunia (tentu Tuhan sudah mengetahuinya) terasa adanya kebutuhan pandangan baru mengenai wahyu sebagai suatu ajaran yang komprehensif, bulat dan utuh, yang selalu dapat dipakai untuk menghadapi setiap permasalahan kehidupan manusia. Melalui cara pemahaman tradisional, ternyata ummat Muhammad tidak mampu bertahan sebagai uswatun ummah.

Dengan perubahan tertib susunan wahyu yang diikuti dengan metoda pemahaman yang sistemik, insya  Allah ummat akan mampu menemukan pandangan hidup yang dikehendaki Sang Pencipta, yang dapat mengatasi pandangan-pandangan hidup ciptaan manusia. Dengan demikian ummat akan mampu menciptakan peradaban Ilahiyah yang akan mengubah wajah dunia yang sekarang. Proses transformasi sosio-kultural melalui perubahan pandangan/ falsafah hidup akan berlangsung, yang selanjutnya akan mengubah paradigma ilmu-ilmu perekayasa kehidupan.

Referensi: Bahar,Baghowi A, Sejarah Penggalian Tafsir Al Quran dalam Seri Al Qur'anologi

Tidak ada komentar: