Ditulis
oleh Prof Dr Komaruddin Hidayat
Jumat, 24 Juni 2011 09:45
Judul di atas adalah judul buku baru karangan Karen Armstrong,
"Masa Depan Tuhan" (2011) dalam edisi bahasa Indonesia. Aslinya The Case for God: What Religion Really
Means.
Armstrong adalah penulis keagamaan yang serius, tradisi risetnya
kuat, sehingga pantas jika lebih dari 15 bukunya masuk ranking terlaris di
dunia. Tuhan dalam kajian Armstrong adalah Tuhan yang menyejarah, yang hidup di
tengah dan bersama pemeluknya,Tuhan yang kemudian melahirkan komunitas orang
beriman dan sekian banyak tradisi dan institusi agama.
Jadi, Tuhan sebagai Yang Mahatinggi dan Absolut tentu tidak
dibatasi waktu, tak mengenal kemarin, sekarang, dan masa depan. Bahkan juga
tidak terpahami oleh akal pikiran. Kita terlalu banyak berbicara tentang Tuhan
akhir-akhir ini dan apa yang kita katakan sering dangkal, kata Armstrong (hlm
9).
Di samping menyajikan dinamika jejak-jejak Tuhan dan pengaruhnya
dalam sejarah manusia, buku ini secara tidak langsung menjawab paham ateisme
modern yang berciri sangat rasional dan ilmiah (scientific atheism) yang telah
memukau masyarakat modern dan anak-anak muda di Barat.
Selama abad ke-16 dan ke-17, di Barat lahir peradaban baru yang
diatur dengan rasionalitas ilmiah dan ekonomi yang berbasis pada teknologi
serta penanaman modal. Sejak itu satusatunya ukuran kebenaran adalah metode
ilmiah. Logos mengalahkan mitos. Padahal di dalam mitos keagamaan terkandung
kebenaran dan kebajikan yang tidak dapat dijangkau oleh logos.
Tafsiran yang serba rasional atas agama menimbulkan dua fenomena
baru yang sangat khas: fundamentalisme dan ateisme (hlm 19). Selama ini tokoh
yang mengembangkan paham ateisme selalu merujuk pada Feurbach, Karl Marx,
Nietzsche, atau Freud yang muncul di abad ke- 19.Tetapi sekarang bermunculan
paham ateisme baru yang dimotori terutama oleh Richard Dawkin,Christopher
Hitchens, dan Sam Haris.
Dalam karya-karya mereka akan ditemukan argumentasi ilmiah
kontemporer untuk menyerang umat beragama yang masih mempercayai Tuhan dan
campur tangan- Nya dalam sejarah. Terhadap serangan dimaksud, buku Armstrong
ini turut berdiri sebagai pembelaan terhadap eksistensi agama-agama.
Logika dan pendekatan ilmiah,terlebih yang mengandalkan paham
empirisisme-positivisme, tidak akan pernah mampu memotret dan menganalisis
misteri kehidupan,keberagamaan dan kebertuhanan. Berbagai karya Armstrong
secara serius berhasil menyajikan betapa agama dan keyakinan pada Tuhan selalu
hadir pada panggung sejarah dan turut memengaruhi manusia memaknai hidupnya.
Agama, keyakinan dan pemahaman terhadap Tuhan, senantiasa
berinteraksi dengan perkembangan sejarah sebuah masyarakat dengan segala
aspeknya. Karena itu, katanya, memahami kitab suci hanya sebatas kata-kata
literernya akan menyesatkan dan mengalami reduksi, tidak sampai pada pesan inti
agama.
Di sisi lain,arogansi ilmiah dalam memahami agama telah mendorong
munculnya respons balik berupa fundamentalisme agama. Perubahan mind-set pemahaman
agama dan kehidupan di Eropa sangat dipengaruhi oleh ekspedisi Christopher
Columbus pada 1492 yang berhasil menemukan benua baru Amerika, yang disponsori
Raja Katolik Ferdinand dan Isabella.
Berita keberhasilan ini menyebar bagaikan wabah baru, bahwa di
luar Eropa ternyata ada dunia lain yang sangat menarik untuk dieksplorasi.
Jadi, ekspedisi, eksplorasi,perpindahan penduduk dan penyebaran informasi baru
selalu melahirkan sintesa budaya baru, yang diawali dengan masalah dan
tantangan baru.
Hari ini,apa yang terjadi pada abad ke-15 di Eropa telah merata di
seluruh dunia melalui jejaring internet dan dunia maya. Masyarakat
terkondisikan untuk berani melampaui batasbatas dunia yang diketahui.
Perjumpaan dan benturan berbagai tradisi dan informasi budaya serta agama ini
telah membuat sebagian besar umat beragama gamang dan kaget (shocked).
Bahwa klaim kebenaran, keilahian, dan surga ternyata juga dimiliki
oleh kelompok umat agama lain. Sementara itu, ada juga kelompok yang secara
gigih menentang adanya Tuhan dan ingin menghapus agama. Perasaan tidak nyaman
dan terancam dalam beragama inilah akar munculnya gerakan fundamentalisme.
Mengutip Armstrong,fundamentalisme adalah iman yang sangat
reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering
mendistorsi tradisi yang mereka coba bela, misalnya dengan sangat selektif baca
ayat-ayat kitab suci yang membenarkan kekerasan dan permusuhan terhadap umat
yang berbeda keyakinan (hlm 470).
Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan,
tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan (hlm
471). Demikianlah, dunia terus berputar.Sejarah terus bergulir merekam sepak
terjang pemikiran dan perilaku manusia. Agama pun sering kali jadi sasaran
kritik dan caci maki.
Tetapi nyatanya agama tetap hidup dan berkembang.Tuhan selalu berada
di hati manusia. Ini membenarkan pandangan yang mengatakan bahwa ”agama
memiliki seribu nyawa”. Kalaupun mati satu, masih lebih banyak yang bertahan
hidup.
Orang boleh saja mengkritik perilaku umat beragama dan berbagai
institusi keagamaan yang dibangunnya, tapi kesadaran,kebutuhan dan keyakinan
agama masih tetap menggelora. Dengan agama seseorang mencari makna dan tujuan
hidup yang lebih hakiki dan mulia.
1 komentar:
Saya sedang baca yg judulnya "sejarah Tuhan". Udah baca dok?
Lumayan berat (buat saya). Tapi sangat menarik.
Posting Komentar