Opini: Terorisme bukan “Ajaran dan Paham” Agama
Polemik teroris beragama atau tidak ada hubungan dengan agama atau atas nama agama menjadi "ramai dan perdebatan yang seru!" apalagi setelah bapak Presiden Jokowi mengecam terorisme yang terjadi dan menganggapkan perilaku terorisme tidak ada hubungan dengan paham agama. Perbincangan yang tidak pernah selesai dan terpuaskan atas argumentasi atau jawaban "yang benar atau salah".
Tergantung sudut pandang dari mana Terorisme dilihat dan dianalisa, tentu berbeda dari sisi agama , politik, sosial , keamanan , ekonomi , dan aspeks lainnya.
Antara Fakta dan Penafsiran tersirat dan tersurat terhadap fenomena aksi teroris; siapa pelaku, motif pelaku, alat dan bahan, tujuan-sasaran dan dampaknya ; waktu dan tempat serta momentum aksi teroris terjadi. Tentu semua tindakan orang, kelompok, organisasi, badan /korporasi sampai negara mempunyai tujuan dan sasaran serta metode untuk mencapainya(cita cita). Aksi teroris merupakan metode untuk mencapai tujuan-cita cita dengan cara cara melawan prosedur hukum yang berlaku atau dianggap tidak benar atau tidak diakui sebagai aturan. Pelaku pelaku teror atau sebagai teroris adalah orang orang yang melaksanakan printah organisasi atau pemegang cita cita mencapai tujuan yang sudah didoktrin sebagai tentara/pejuang/ martir/pahlawan. Doktrin untuk melaksanakan "tugas suci" atau "perang suci" melawan "musuh"; keyakinan tersebut menjadikan pelaku "berani mati" dalam tugasnya karena bila mati menjadikannya martir, syuhada. Apakah mereka pelaku memahami atau menyadari "penyimpangan" ideologi dari doktrin dokrin "sang pemimpinnya" atau keyakinannya?. Suatu yang sulit membedakan doktrin agama atau doktrin tafsir Imam /agama yang menyimpang, dikarenakan intensitas internal yang ditanamkan "kebenaran dari sang imam". Otorisasi kebenaran sang imam sama dengan "kebenaran agama itu sendiri". apa kata imam adalah fatwa agama dan kebenaran, bahkan sebagai ajaran agama yang tidak bisa di tawar dan harus dilaksanakan. Otoritas imam bagaikan pemegang kunci surga bagi pengikutnya, apapun yang tidak direstui sang imam, dapat menjadi "musibah", menutup pintu surga.
Keyakinan yang dibuzzer oleh sang imam membuat pengikutnya siap untuk menjadi pejuang pejuang "atas nama agama" sebagai tentara tentara agama atau pembela agama (ksatria agama), yang akan membela sang imam dan cita cita organisasi yang di-impikannya 'seperti khalifah" atau negara agama.
Sang Imam yang menjadi deklator dan otoritas agama, memonopoli kebenaran, sebagai pengganti dan pewaris nabi-rosul, membuat kekuasaan sang imam semakin "duniawi" karena kepentingan atas nama agama, atas nama tuhan ada dipundak sang imam. Semakin Duniawi semakin kuat cita cita mendirikan ideologi agama untuk mewujudkan negara agama/ kerajaan tuhan. inilah memunculkan cara cara radikal untuk mencapai mimpi / cita citanya dan akhirnya melakukan aksi aksi melawan hukum yang berlaku sebagai aksi agama yang benar atau suci. pembenaran semua aksi karena alasan agama "untuk perjuangan suci"
Alasan "Atas nama agama " ...tidak monopoli tapi bisa dari agama apapun, menggunakan atau berdasarkan dalil ayat -ayat kitab suci. Penafsiran yang "menyimpang atau salah yang dianggap keyakinan" sebagai kebenaran yang dipaksakan ke "pihak lain/orang lain" adalah sikap radikalis, dan tindakan menyerang terhadap "pihak lain" yang menolak kebenaran/kafirin sebagai sikap teroris. siapapun berpotensi menjadi radikal dan teroris ketika memaksa kehendak kepada orang lain tanpa mengikuti prosedur hukum negara yang berlaku; Sebaliknya bila sikap radikal dan teroris dilakukan negara terhadap negara atau bangsa lain- sebagai terorisme negara; yang juga sebagai bentuk kolonialisme –emperialisme –hegemonik gaya baru(era 3.0-4.0).
Jejak sejarah mencatat dan membuktikan, menjadi radikal dan kemudian menjadi teroris, terjadi karena alasan " atas nama agama",dan ada pada setiap penganut agama, baik "pengaku agama primitif/kepercayaan/dinamisme, hindu, budha, yahudi, kristen dan islam . Hegemonik kebenaran atas nama agama menjadikan orang yang tidak sepaham atau tidak mengakuinya sebagai "musuh". "pembebasan dari paham me-monopoli kebenaran” seperti dari perilaku intoleransi menjadi toleransi harus dilakukan bersama sama, terus menurus/kontinus oleh semua kita, baik dari pengaku agama yang sama atau yang berbeda merupakan “usaha bersama dan harus bersama “ dalam menjaga kerukunan dan kedamaian bersama, dalam bingkai bangsa -negara kesatuan indonesia raya.
Terorisme adalah Kejahatan. atas nama apapun berbuat kejahatan adalah tindakan terorisme. tindakan kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun. oleh perorangan, kelompok, golongan, organisasi, pemerintah, bahkan oleh negara. terorisme terhadap orang , terhadap kelompok, terhadap golongan lain, masyarakat, bangsa dan negara. mengkaitkan terorisme dengan ajaran agama atau pemeluk agama atau "sebagai identitas" seperti membenarkan tindakan kejahatan itu sendiri. "ibarat penyakit " terorisme dapat menyerang dan menular kepada siapa saja "seperti virus". Pelaku terorisme ibarat orang yang sakit dapat menebarkan ketakutan dan kematian dengan cara menularkan penyakitnya.... jadi siapapun bisa jadi teroris bila bertindak kejahatan "atas nama fanatisisme tertentu"
"Teroris" adalah Pelaku Teror ; adalah Pelaku Kejahatan. Apapun alasan tindakannya - tidak dapat dibenarkan "siapapun". Pengaruh Geopolitik, sejarah, ideologi ,ekonomi, agama, dll., hanya "pembenaran sepihak atas nama kepentingannya". Kejahatan tetaplah hakekatnya Kejahatan, tidak ada Kejahatan atas nama Kebaikan, seperti juga Kebaikan atas nama Kejahatan(teror). Pelaku individu , bersama sama, bahkan negara bila melakukan teror adalah teroris.
Pertanyaan dasar " bagaimana orang bisa berbuat jahat atau menjadi teroris? atau apa motif orang berbuat jahat atau teror?.
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa singkat-sederhana, bisa sangat panjang-rumit dan debatable bahkan menjadi "polemik yang panjang".
Hakekat dasarnya kejahatan lawan dari kebaikan dan sebaliknya. Apa itu kejahatan atau kebaikan ? jawabnya tergantung dari sudutpandang kepentingan definisi kejahatan atau kebaikan.
Secara makna kejahatan adalah perbuatan terhadap orang lain atau sesuatu yang merugikan, menyakitkan, merampas, meniadakan, bahkan mematikan hak asasi atau hal yang dijamin dan diatur oleh norma, etika, hukum bermasyarakat, negara, universal, agama; sebaliknya dengan kebaikan.
Secara Hakekat Kejahatan bermakna sesuatu yang menyalahi nilai kebenaran dan kebaikan, serta merugikan terhadap pihak lain. Dalam bahasa agama disebut perbuatan dosa atau bahasa hukum perbuatan kriminal.
Pemaknaan "kejahatan, dosa, kriminal, teror" dapat berubah menjadi pemaknaan sebaliknya sebagai "kebaikan, pahala, amal sholeh). Perubahan makna ini terjadi karena ada "tafsir" karena adanya kepentingan individu, kelompok, bahkan atas nama otoritas hukum -pembuat fatwa, pembuat undang-undang atau diskresi sebagai pemimpin tertinggi atau pemegang kewenangan.
Mengapa teroris individu atau kelompok menjadi lebih eksklusif dan menjadi perhatian besar " dari media dan masyarakat atau pemerintah"? Mengapa teroris negara besar terhadap negara kecil atau bangsa atau negara terhadap rakyatnya atau kelompok sebagai oposisi tidak sering diketahui atau menggaung di ruang "media berita"?
Kondisi Geopolitik sejak era lalu dan sekarang, bahkan masa yang akan datang sangat berperan terhadap perubahan tafsir "kejahatan atau teroris" . bagaimana persepsi -pemahaman setiap orang memahami tantang hidup dan mengantipasi perubahan "kepentingan global-poleksosbud-hankam " negara, pengaruh persaingan negara besar versus besar dunia dan negara besar versus kecil, negara kecil versus kecil.
Dalam era persaingan global terjadi "perang non konvensional: perang dagang, perang informatika/cyber dalam menguasai bigdata segala potensi kekuatan tehnologi-nanotehnologi.
Pengaruh perang ideologi dalam bentuk pengaruh informasi melalui medsos, gaya hidup lebih terbuka dan sangat intens -deras melalui Youtube, WAG, Instagram, Line, Telegram, Google, blog -blog , dll.
Pengaruhi yang disadari ataupun tanpa disadari -dapat mempengaruhi orang muda yang baru belajar tentang agama, tentang jatidiri, tentang kehidupan dunia ataupun mencari panutan sebagai guru atau idola hidupnya. Ekstensi kehidupan yang benar dan baik merupakan sesuatu yang mendasar ingin diketahui setiap manusia dalam proses kehidupan ini. Ketika pembenaran hanya dimiliki suatu kelompok dan kelompok lain salah atau golongan lain atau agama lain atau sistem kehidupan lain, maka menimbulkan sikap yang eksklusif, bahkan yang lain sebagai "musuh" atau bahkan "perlu diperangi". Siapapun yang bersikap eksklusif atau merasa lebih dari yang lain akan bersikap dan berperilaku "spesial-tertutup, merasa paling benar sendiri, bahkan terhadap orang dekatnya, orang tua, keluarganya". Tekanan dari lingkungan sekitarnya, atau medsos , atau tokoh tokoh yang memprovokasi keadaan disekitarnya atau dari tokoh panutannya, imamnya; dapat memicu ledakan membuatnya berbuat "kejahatan" yang diyakininya sebagai "berbuat baik". Sikap dan perilaku eksklusif juga terjadi pada kelompok, golongan, partai, bangsa, negara terhadap yang lain. Tindakan atas keyakinan "berbuat baik" yang merugikan pihak lain dapat bermacam bentuk dari hal hal yang non fisik sampai hal hal yang fisik, mulai ucapan verbal, sweeping, kekerasan fisik sampai bahkan agresi-perang, genosid dan penjajahan.
Hal ini juga menimbulkan balasan timbulnya sikap dan perilaku eksklusif baru atau lain untuk "melawan aksi teror dengan aksi teror".
Apakah terorisme bisa dihilangkan atau dbrantas tuntas selamanya di dunia ?
Jawabanya: tergantung dari mana teroris itu berasal atau munculnya sikap-perilaku eksklusif tersebut. Apakah deradikalisasi individu, kelompok, golongan, partai, pemerintah, bangsa, negara ?. Jadi deradikalisasi perlu dilakukan dengan bersama sama -menjadikan dunia yang damai dan beradab. Hilangkan kesenjangan di masyarakat seperti intoleransi, hilangkan kepentingan golongan berdasarkan SARA, hilangkan ancaman perang, secara militer, ekonomi, politik dalam semua negara negara kecil-besar seperti perlombaaan senjata tidak perlu ada.
Selama ada ancaman "musuh" akan ada "aksi teror" untuk melawan atau "per-perangan langsung atau tidak langsung(proxy war) baik yang dilakukan oleh mereka "sebagai musuh" atau sebaliknya sebagai korban musuh.
Defisini teroris pun menjadi bias ketika diberikan kepada pelaku yang menganggap sasaran sebagai musuh dan sebaliknya ketika balasan terhadap pelaku dianggap pelaku sebagai teroris. Mengapa teroris dapat menjadi militan(sebagai pejuang/martir) ? karena keyakinan melawan musuh sebagai kemuliaan, pahlawan, kesatria, membela keyakinan, membela kebenaran. Semua alasannya ini bisa dipahami secara dangkal atau dokrin atau dogma diberikan sebagai perintah dan amal melawan musuh.
Otoritas kekuasaan yang memberi perintah dapat karena kepentingan "oknum" imam, kelompok, golongan, rezim pemerintahan. Pelaku tidak dapat menolak melakukan "perperangan atau tindakan teror". Kejahatan atas nama kelompok, golongan , negara seperti menjadi sah -benar menurut kelompok, golongan atau negara.
Semoga paham kejahatan atas "kepentingan jahat" tidak dapat mendapat legitimasi dalam lingkungan bangsa dan negara indonesia dan peradaban umat manusia.
Wallahu alam bi-ssawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar