Bentuk Negara Indonesia adalah negara kesatuan republik indonesia yang menganut system demokrasi Pancasila. Dalam prakteknya kekuasaan dianut berdasarkan teori “trias politika” yaitu kekuasaan eksekutif, yudikatif, legislative secara terpisah. Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di pilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara langsung, sedangkan yudikatif (Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Yudisial) dipilih kepala eksekutif (Presiden) dengan persetujuan legislative (DPR, MPR,DPD). Sebagai negara yang mempraktekan paham demokrasi yang termasuk terbesar di dunia, demokrasi di Indonesia sudah kelewatan( kebla-blasan) atau sangat liberal. Tidak seperti di negara asal paham demokrasi di Barat – dimana misalnya Amerika Serikat, partisipasi politik di wakili oleh hanya dua partai politik yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik, berbeda sebaliknya di Indonesia, Partisipasi politik rakyat diwakili oleh banyak partai politik, namun juga oleh diluar partai politik - seperti Mahasiswa, Organisasi Buruh, Ormas-ormas yang melakukan pergerakan politik. Hal ini berbeda dengan negara asal demokrasi, tidak ada pergerakan politik diluar partai politik, semua aspirasi demokrasi disalurkan melalui partai politik dan kekuasaan dijalankan sesuai teori trias politika, bila terjadi ketimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan politik, atau kebijaksanaan politik yang dianggap merugikan kepentingan rakyat, maka rakyat dapat lakukan tindakan politik dengan tidak lagi memilih partai yang berkuasa pada periode pemilihan umum periode berikutnya. Di Indonesia praktek kekuasaan politik, dengan banyak partai politik, dan non partai(yang dianggap kekuatan politik tersembunyi atau informal) , realitasnya partisipasi politik rakyat- tidak terwujud dan terwakili oleh kekuatan partai politik, seolah olah diwakili oleh kekuatan non partai yang berpolitik- seperti mahasiswa, ormas. Di negara demokrasi Barat tidak pernah kekuatan non partai sebagai kekuatan politik yang menjadi oposisi pemerintahan yang resmi. Aspirasi politik hanya melalui partai politik, atau bila ingin berpolitik, maka bisa masuk menjadi anggota partai politik; demontrasi terhadap pemerintah dilakukan oleh anggota partai politik- sebagai partai oposisi. Coba perhatikan di Negara Singapura, Malaysia, Australia, Eropa, Amerika Serikat, apakah ada demo demo yang dilakukan oleh anggota diluar partai?
Kekuasaan Pemerintahan
dengan dukungan partai politiknya (pemenang pemilu) , justru seperti mau
digoyang , dilengserkan ditengah jalan
oleh pihak pihak yang berlawan /oposisi dengan pemerintah, baik dari pihak partai dan non partai. Pihak oposisi
membuat gerakan politik yang membuat polarisasi dalam masyarakat secara halus dan massif, sehingga terjadi
gesekan langsung dilapisan masyarakat bawah( grass-root), seperti persekusi verbal- fisik, perang opini di medsos, dan lain
lain. Issue issue
keagamaan, suku, bangsa (RAS)
pun dhembuskan sebagai cara untuk saling
mempengaruhi, memecah belah dan
menghimpun kekuatan politik identitas,
golongan, agama.
Sangat miris atas
nama demokrasi dengan jargon” kebebasan
berpendapat, hak asasi manusia, keadilan
hokum, moral, agama”, tetapi ketika
berbeda pandangan, berbeda pendapat, mereka tidak mau menerima, intoleransi, tidak menghormati orang lain atau maunya “memaksa
kehendaknya atas nama demokrasi”,
bahkan pemerintah didemo untuk
dilengserkan segera dengan alasan yang “lemah” dan tidak konsisten dengan
pilihan politik (Pemilu) sampai masa kekuasaan pemerintah
berakhir ( 5 tahun) dan pemilu berikutnya.
Ketika adanya
perbedaan pendapat, pikiran,
sikap-perilaku ‘ dalam demokrasi’ adalah suatu hal biasa, maka tidak
perlu ada “persekusi atau kekerasan atau tindakan criminal “ terhadap siapapun
orang lain, selama mengikuti aturan, norma yang berlaku. Kebebasan bicara dalam “alam demokrasi” menjadi kesepakatan
bersama, maka etika kesantunan, etika bermasyarakat, etika berbangsa perlu diperhatikan dan dijaga , agar kehidupan demokrasi tetapi berlanjut dan
kelangsungan - keutuhan negara menjadi kuat dan
abadi. Tetapi bila kehidupan demokrasi disalahgunakan dan
menjadi kebebasan antidemokrasi, maka negara ini akan
hancur atau tercabut “ akar demokrasi” dari bumi pertiwi-indonesia.
Akhirnya perlu
pemikiran kembali, apakah praktek demokrasi Indonesia di Indonesia sudah benar atau sehat? Atau perlu rekonstruksi kekuatan politik –partai dan -non partai ? apakah
perlu instrument aspirasi politik kaum intelektual( ilmuan, cendikiawan,
mahasiswa) non partai ?
Tugas Pemerintah sebagai eksekutif, legislative untuk mengerjakan PR(pekerjaan rumah) bangsa ini, agar demokrasi kita semakin baik dan berdampak pada kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara kesatuan republic Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar